SAHABAT KECILKU

Agustus 23, 2008

SAHABAT KECILKU <!– @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } –>

Kau jauh melangkah

Melewati batas waktu

Menjauh dariku

Akankah kita berjumpa kembali?

Sahabat kecilku…

Masihkah kau ingat aku?

Saat kau lantunkan segala cita dan tujuan mulia

Tak ada satu pun masa

Seindah saat kita bersama

Bermain-main hingga lupa waktu

Mungkinkah kita kan mengulangnya

Tiada…tiada lagi candamu

Yang selalu menemani segala sedihku

Tiada…tiada lagi candamu

Yang selalu mengikuti saat kulara

Bila malam tiba

Ku selalu memohonkan doa

Menjaga dirimu

Hingga suatu masa bertemu lagi…

Nb: Heh, soulmate genk…kapan kita balapan manjat pohon mangga lagi di rumahnya eqi, heh(dan pasti yang nyampe puncak duluan tuh aku ato vemi ;-P )??!! Gmn kalo pas hari jadi kita, kita adain lomba manjat pohon teh di kebun teh malang?? Siapa yang jatuh duluan, itu yang menang!!Bagus kan ide gua??!!hahahaha….(pasti yang menang inyul tuuuh,hehehehe…^_^).

KAWAN, BETAPA MANISNYA PERSAHABATAN KITA….^_^

Ternyata manisnya persahabatan itu tidak melihat dari bagaimana kita, bagaimana asal-usul kita, bagaimana IQ kita…namun semua akan terasa manis bila kita benar-benar merasakan kemanisan itu….ada dalam suka dan duka bersama mereka….sahabat itu kemana-mana tidak harus selalu bersama, tapi saling memberi dukungan dimanapun kita berada….selalu ingat dan mengerti ketika berada dalam kondisi apapun, saling memberikan semangat…

Teman…sekali lagi aku tegaskan, bahwa aku sangat2 bersyukur bisa mengenal kalian(genk soulmate) lebih dulu daripada orang lain….aku tidak bisa membayangkan bagaimana jikalau aku tidak mengenal kalian sejak kita duduk di bangku TK, yah TK kita tercinta…TK Tunas Harapan Probolinggo(hyaaa…wes…wes…mulai sebut merk iki!!ga’ ilo’ iki,hehehe…lha kog dadi mbanyol?!)walaupun satu di antara kita tidak se-TK, namun itu tidak menghalangi kita untuk bertemu dan membentuk “SOULMATE GENK”, sebab kita memang sudah ditakdirkan oleh Alloh untuk bertemu, supaya kita dapat saling memberi dukungan satu sama lain(nangis bareng2, manjat pohon bareng2, ketawa-ketiwi bareng2, tapi ga’ adus bareng lho yow…!!!…T_T (tuuhh kaaann….jiwa melankolisku kumat mendadak!!!tapi gpp deh, biarkata orang aku cengeng namun aku akan tetap setia kawan pada kalian semua….sampai kapanpun itu…).Once more….I miss U, girl’s….thanks 4 all….VIVA SOULMATE GENK!!!One for all, all for one…(lak maleh dadi SCTV…SATU UNTUK SEMUAAAA….)hihihi…..^_^

Nb: OY, coba deh kalian dengerin lagunya The Corrs yang judulnya “ALL THE LOVE IN THE WORLD”..dijamin cihuyy…!!

CINTA BERTAHAN(for all of my friends,espesially eqi, ita, kunti, n vemy)

Hidup yang sedang berjalan… terasa ringan berjalan, karena kalian disisiku disampingku…

Persahabatan yang kian tertanam… terasa kuat bertahan, karena kalian menguatkan menyucikan…

Kalian dan aku bersenyawa mengarungi hidup.

Persahabatan ku ini akan bertahan…tak akan habis menembus jaman, kalian buat mega menjadi warna satukan hati dan percaya. Persahabatan ini akan bertahan semakin hari semakin dalam….kalian dan aku bisa jadikan mimpi jadi kenyataan….

Selamanya cinta persahabatan(for my SOULMATE GENK)

Di kala hati resah….seribu ragu datang memaksaku…

Rindu semakin menyerang… kalaulah kudapat membaca pikiran kalian dengan sayapan harapanku ingin terbang jauh…

Biar awan pun gelisah daun2 jatuh berguguran…

Namun cinta kasih kalian terbit laksana bintang yang bersinar secerah menerangi jiwaku

Andaikan kudapat mengungkapkan perasaanku hingga membuat kalian percaya akan kuberikan seutuhnya rasa sayangku selamanya…selamanya….

Tuhan….jalinkanlah persahabatan…bersama…slamanya….

KASIH PUTIH(for someone else)

Terdalam yang pernah kurasa….hasratku hanyalah untukmu terukir manis dalam renunganku jiwamu jiwaku menyatu biarkanlah kurasakan hangatnya sentuhan kasihmu…bawa daku… penuhiku… berilah diriku kasih putih di hatiku…

Kucurahkan isi jiwaku hanya padaku dalam lahir hatiku kau bawa slamanya diriku

Pinta-ku Pada-Mu…

Agustus 19, 2008
Ya Rob…

var curDiv = document.getElementById(‘ln0’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

var curDiv = document.getElementById(‘ln1’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Aku mulai merasakan hal itu lagi…

var curDiv = document.getElementById(‘ln2’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

cemas,sedih,khawatir, dan takut menjadi satu…

var curDiv = document.getElementById(‘ln3’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Namun…biarlah semua berjalan sesuai kehendak-Mu…sebab hanya Engkau yang berhak memiliki semuanya,termasuk hamba-Mu ini…

var curDiv = document.getElementById(‘ln4’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Hamba hanya bisa pasrah dalam hening-Mu..

var curDiv = document.getElementById(‘ln5’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

var curDiv = document.getElementById(‘ln6’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Ya Rob…

var curDiv = document.getElementById(‘ln7’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Tetap jadikanlah Ayah sebagai sosok yang bijaksana,

var curDiv = document.getElementById(‘ln8’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Tetap jadikanlah Bunda sebagai sosok yang sabar dan ulet,

var curDiv = document.getElementById(‘ln9’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Tetap jadikanlah Abang sebagai sosok yang selalu bisa menjadi teladan bagi adik2nya,

var curDiv = document.getElementById(‘ln10’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Tetap jadikanlah Ade’ sebagai sosok yang dapat menghapus air mata ini,

var curDiv = document.getElementById(‘ln11’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Dan..

var curDiv = document.getElementById(‘ln12’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Tetap jadikanlah teman2 Hamba sebagai sosok yang selalu setia kawan,

var curDiv = document.getElementById(‘ln13’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

var curDiv = document.getElementById(‘ln14’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Ya Rob…

var curDiv = document.getElementById(‘ln15’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Lindungilah mereka selalu,

var curDiv = document.getElementById(‘ln16’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Jagalah meraka everywhere n anytime,

var curDiv = document.getElementById(‘ln17’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Ringankanlah setiap langkahnya,

var curDiv = document.getElementById(‘ln18’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

dan mudahkanlah segala urusannya,

var curDiv = document.getElementById(‘ln19’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

var curDiv = document.getElementById(‘ln20’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Ya Rob…

var curDiv = document.getElementById(‘ln21’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

walau ku tak sempat meminta maaf,

var curDiv = document.getElementById(‘ln22’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Sampaikanlah pada mereka bahwa aku sangat menyayangi mereka…

var curDiv = document.getElementById(‘ln23’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

var curDiv = document.getElementById(‘ln24’);
curDiv.innerHTML = convert2url(curDiv.innerHTML);
var links = curDiv.getElementsByTagName(‘a’);
for(var i = links.length; i >= 0; –i) {
if(links[i]) links[i].innerHTML = links[i].innerHTML.substr(0,30) + “…”;
}

Amin, amin, amin…

TAK SEMUDAH yang DIBAYANGKAN

Juli 27, 2008

Alhamdulillah….akhirnya aku terlepas dari sebuah nazar yang aku ucapkan sendiri. Bisa dibilang mungkin ini adalah akhir cerita burukku, lebih tepatnya mimpi burukku yang selama ini terjadi padaku. Semoga saja penuturanku kali ini tidak njlimet, sehingga mudah dimengerti oleh para pengunjung situs blog-ku ini. Yang jelas, setelah ini, insya Alloh aku akan lebih menghadapi hari-hari ku dengan tenang dan penuh kesadaran. Bisa dibilang selama SMA ini aku mengalami masa yang tersulit dalam hidupku. Here the complete story….I hope it will be a nice story for you!

Awalnya, kukira memenuhi sebuah nazar adalah hal yang mudah bagiku, temen-temen ku aja banyak yang nazar sampe dibela-belain puasa 1bulan penuh. Tak seperti biasanya, kali ini aku kurang percaya diri dengan nilai hasil UAN SMP ku. Dulu pas waktu SD, aku percaya diri n yakin bahwa aku bisa diterima di SMPN ternama di Kediri tanpa takut akan banyaknya saingan yang nota-bene nya nilai mereka lebih bagus dariku. Namun, nggak tau kenapa kali ini aku bener-bener tidak PD n yakin bahwa aku akan diterima di SMAN ternama yakni masih di kota yang sama. Lantas, tiba-tiba terlintas di benakku untuk melakukan suatu nazar yang aku yakini bahwa aku sanggup untuk memenuhinya. Nazarku ini bisa dibilang lain daripada yang lain, meskipun mungkin untuk sebagian muslimah sejati hal ini akan mudah untuk dilakukan dan aku pun berpikir sama seperti mereka, bahwa aku sanggup untuk menjadi muslimah sejati. Tiba-tiba saja aku berucap, “ Jika aku diterima di SMAN 2 Kediri, aku berjanji bahwa tidak akan jatuh cinta kepada lawan jenis( kecuali keluarga) selama 3tahun di SMA, walaupun sekedar kagum. Pokoknya aku hanya akan mencintai mereka sebatas teman biasa dan sahabat saja, tidak lebih. Yang jelas, niatku hanya belajar, belajar, dan belajar(baik akademis maupun non-akademis). Ya Alloh, jika hamba melanggar janji hamba sendiri, hukumlah hamba yang berat, lebih berat dari penyakit jasman dan rohani. Amin”.

Yaah..begitulah nazarku, yang tanpa kusadari dan baru aku sadari setelah setahun aku kuliah, bahwa nazarku itulah yang selama ini akar dari segala kejadian mengerikan yang aku alami. Awalnya sih aku biasa-biasa saja, hingga masa orientasi siswa aku lalui dengan baik bersama peserta MOS lainnya. Segalanya berubah seketika setelah aku melihat sosok yang selama ini aku idolakan, yakni kakak kelasku sendiri, sebut saja namanya Tory. Entah kenapa rasa kagum itu mulai muncul lagi setelah sekian tahun aku tidak bertemu dengan dia. Sebelumnya Tory adalah kakak kelasku sewaktu aku SMP. Alasan kenapa aku mengaguminya adalah lantaran sosoknya yang mirip dengan kakak kandungku, yang sejak kelas 3SD aku sudah jarang bertemu karena dia menjadi anak kos, so bisa dibayangkan gimana perasaan seorang adik yang jarang lagi ketemu kakaknya di rumah, yang jarang lagi bercanda dan bermain, apalagi semenjak dia jadi anak kos, jarak antara kami jadi sedikit renggang, sehingga tiap kali dia pulang ke rumah, we just say hello, not as like as last time, before he become a boy of boarding house. Maka dari itu, seketika pada saat pertama kali aku melihat Tory di SMP, aku langsung kagum dan simpatik terhadapnya. Namun hal itu tidaklah berlangsung lama dan tidak terlalu kuanggap serius, sebab selain umurku yang masih dini, waktu itu kami pun segera berpisah, lantaran dia telah kelas 3 SMP, sedangkan aku masih kelas 1SMP, sehingga dia pun segera lulus. Eh…nggak taunya aku berada di SMA yang sama dengan dia dan mau nggak mau aku seperti CLBK ma dia, hehehe….Semula sih aku tidak begitu heboh, aku masih bisa mengendalikan emosiku, sebab aku masih teringat akan nazar-ku. Namun itu semua berubah menjadi 180 derajad, tepatnya setelah aku satu ekskul dengannya, yakni anggota Paskibra sekolah. Kebetulan saat itu dia lumayan sering melatih kami(anggota paskibra baru), sehingga semakin lama aku semakin tidak sanggup lagi mengendalikan emosiku dan aku telah lupa dengan janji-ku dengan kata lain aku telah melanggar nazar-ku sendiri. Hingga aku pun dibuat “sakit” oleh Alloh. Sakit di sini bukanlah sakit biasa. Sakit dimana aku selalu tidak pernah menyadari segala sesuatunya yang telah kuperbuat, seakan ada kekuatan tersendiri yang mengendalikan segala gerak-gerikku, baik tingkah laku, ucapan, maupun pikiranku, sehingga aku tidak sadar atas apa yang selalu aku perbuat, ucapkan, dan aku pikirkan. Seolah semua itu ada yang mengendalikannya, dan hingga saat ini aku pun belum tau siapa atau apa yang mengendalikan aku selama kurang lebih 3tahun itu. Semenjak itulah aku dicap sebagai gadis yang gila, aneh, agresif, berani menentang guru, tak tahu sopan santun, bahkan kerap kali membuat teman-temanku gelisah. Tapi anehnya, aku tidak mau mengakui kesalahan-kesalahan itu, sebab dari dasar hati ku yang paling dalam, aku merasa bahwa aku tidak bersalah sebab bukan aku yang melakukan semua itu. Sehingga banyak yang menyimpulkan bahwa aku ini kerasukan jin/setan. Meskipun, jujur, aku enggan disimpulkan seperti itu, sebab pada saat itu tidak pernah sekalipun aku meninggalkan sholat, ngaji, bahkan aku ikut ke dalam kegiatan remaja masjid dan sampai saat ini aku masih mengingat detail setiap kejadian yang menimpaku selama kurang lebih 3tahun, waktu yang cukup panjang, waktu yang seharusnya kuisi dengan berbagai kenangan indah bersama teman-teman-ku. Namun, kembali aku harus pasrah menerima semua itu. Toh, aku tidak akan bisa memutar kembali waktu yang telah kulewati. Sia-sia saja aku menjelaskan dan meyakinkan kepada mereka bahwa aku ini tidaklah kerasukan jin/setan. Mana mungkin mereka percaya dengan penjelasanku yang mungkin bagi mereka mustahil terjadi. Tapi Demi Alloh semua itu tidak akan terjadi jikalau aku tidak melanggar nazarku sendiri, terserah percaya atau tidak.

Begitulah hari-hari selama 3tahun aku lewati tanpa adanya kesan yang membekas. Walaupun tidak sepenuhnya 3tahun tersebut kuisi dengan hal-hal yang menyedihkan, yakni kejadian yang selalu membuatku menangis. Seringkali aku dipanggil ke ruang BP dan harus mempertanggungjawabkan artikel-artikel yang telah kutulis dan ku edarkan ke semua ruangan yang ada di sekolah itu, termasuk semua ruang kelas (ada 27 kelas) dan ruang BP, yang menurut mereka kalimat-kalimat dalam artikel ku tersebut terlalu ‘kritis’ dan bermakna ambigu baik secara agama maupun dilihat dari segi sosialnya. Padahal aku tidak merasa pernah menulis itu semua, dan aku tidak ingat semua topic artikel tersebut. Tapi hal tersebut tidak bisa aku buktikan, sebab jelas-jelas artikel tersebut tertulis tangan dan itu adalah benar tulisan tanganku sendiri, dan aku tidak menyangkalnya. Hal-hal tersebut terus-menerus kualami kurang lebih 1tahun hingga datang seorang “paranormal” yang menyembuhkan ku. Dan semenjak itu, aku sudah mulai bisa mengendalikan emosiku lagi. Terlebih, ketika aku mulai berjilbab, tepatnya awal kelas 2 SMA. Namun, masih saja aku dalam masa-masa penemuan jati diri, sehingga banyak yang salah mengartikan sikapku selama di SMA. Mungkin paranormal tersebut telah memberiku sesuatu yang dapat membantuku dalam melaksanakan nazarku, mengingat perjalananku dalam memenuhi nazar tersebut masih kurang 2tahun. Segala bentuk perhatianku kepada mereka yang lawan jenis, seringkali dianggap lebih. Padahal saat itu yang ada dipikiranku hanyalah melakukan apa yang seharusnya kulakukan tanpa ada niatan sebelumnya. Sulit bagiku untuk jatuh cinta kepada lawan jenis, bahkan sempat terpikir olehku bahwa aku ini abnormal, sebab aku hanya menganggap semua teman-teman ku baik cewek maupun cowok hanyalah teman biasa dan rasa sayangku juga perhatianku itu hanya sebatas teman/ sahabat bahkan mereka semua kuanggap seperti saudara sendiri. Namun, tanggapan mereka terhadapku malah sebaliknya. Mereka menganggapku bahwa aku ini tebar pesona, hiperaktif, terlalu berlebihan, sok cari perhatian, sok akrab, kekanak-kanakan, dsb. Maka aku pun sulit untuk membedakan antara kawan dan lawan. Semua kuanggap baik dan seringkali aku tidak menyadari bahwa aku telah ditipu, dikhianati, dibenci, bahkan dicintai oleh mereka. Semuanya terasa begitu sama, yang kurasakan hanyalah kebaikan mereka yang datar tanpa maksud dan tujuan tertentu, sikap mereka tidaklah bermaksud apa-apa kecuali berteman biasa, bukan bermusuhan ataupun berteman special, layaknya aku menganggap mereka itu adalah sama sepertiku, sehingga semua orang yang kukenal kusamaratakan dengan diriku, baik itu watak, sifat, dan pikirannya.

Hal itu terus berlangsung hingga aku menerima ijazah SMA ku. Malam itu, insya Alloh sekitar pukul 12 hampir mendekati dini hari, mata ku ini belum juga terpejam, padahal tidak ada PR ataupun tanggungan sekolah yang harus aku selesaikan. Beberapa menit setelah itu, mata ku mulai sedikit mengantuk dan lambat laun kurasakan ada sesuatu yang aneh. Aku sendiri sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata. Yang jelas saat itu, ada sesuatu yang kurasakan seolah mengusap keningku, hingga terasa dingin seperti es. Ibarat papan tulis yang penuh dengan tulisan-tulisan lalu tulisan-tulisan tersebut terhapus secara sengaja oleh penghapus papan tulis. Begitu juga denganku, seketika setelah kurasakan sesuatu yang dingin tersebut menyentuh keningku, aku merasa bahwa segala persoalan yang kuhadapi selama ini terasa ringan tanpa beban. Sejenak aku berpikir, mungkin saat itulah Alloh telah menghapus dan membebaskan aku dari nazar ku tersebut. Itu kualami insya Alloh pada 24 Agustus 2007. Setelah kejadian itu, aku merasa seperti bayi yang baru lahir kembali, semuanya terasa ringan tanpa beban, seolah Alloh telah membuka lebar mata dan hatiku. Namun ada sesuatu yang masih mengganjal di benakku, yakni perasaan bersalah terhadap orang-orang di sekitarku, baik itu keluarga, teman ku, teman kakakku, kerabat, pokoknya semuanya yang ku kenal. Hingga saat ini, aku mengetik tulisan ini, aku masih diliputi perasaan bersalah terhadap mereka semua.

Maka dari itu, melalui tulisan ini kuucapkan maaf yang sebesar-besarnya bagi siapa pun yang pernah dan merasa pernah aku sakiti hatinya. Maafkan aku atas segala khilafku selama ini. Aku berharap setelah ini, aku dapat memulai kembali kehidupan ku yang baru dengan segala tingkah laku, ucapan dan pikiran yang benar-benar aku sadari. Dan yang terpenting, menginjak usiaku yang tinggal beberapa bulan, genap berkepala dua ini, aku bukanlah lagi seorang GADIS YANG TAKUT UNTUK JATUH CINTA!!! Because of love, I can life till now….^_^

Kali ini tulisanku ini adalah benar-benar fakta yang bersumber dari pengalaman pribadiku tanpa aku beri bumbu terlebih dahulu. Maka dari itu, aku berharap bagi kalian yang membaca ini, dapat memetik manfaatnya. Sedikit pesan singkat dari aku, bahwa “Jangan pernah sekali pun kita bermain dengan nazar, sebab jikalau kita melanggarnya, maka akan sangat amat besar akibat yang akan kita rasakan”. So…the conclusion is kalau kita belum yakin sepenuhnya akan kesanggupan kita dalam melewati nazar tersebut, lebih baik kita tidak usah bernazar, daripada kita menyesal di kemudian hari. Tetap SEMANGAT YAA….!!!!CHAYO….!!!! Kita harus bisa menjadi PRIBADI yang MENGETAHUI BAHWA KITA TAHU, jangan sampai KITA TIDAK MENGETAHUI BAHWA KITA TAHU atau KITA TIDAK MENGETAHUI BAHWA KITA TIDAK TAHU. Contohnya aku, kalo’ mengingat-ingat kejadian SMA, rasanya aku tidak pernah mengalami masa-masa SMA seperti yang dibilang oleh kebanyakan orang, yakni masa SMA itu adalah masa yang terindah, masa di mana kita mencari jati diri. Kadang aku merasa bahwa aku tidak ingat pernah melewati masa SMA, sebab segala sesuatu yang kulakukan di SMA tidaklah murni atas kesadaranku sendiri(di luar kesadranku), seakan ada yang mengendalikannya. Namun, jika aku merasa telah melewati masa SMA, kenapa masa-masa itu hanya berjalan biasa-biasa saja yach??!! Without something of special seperti yang dialami oleh sahabat-sahabatku, yakni JATUH CINTA…..!!!Hahahahaaaa…..(mungkin ada sisi positifnya juga aku bernazar seperti itu, sebab aku merasa bahwa sekaranglah saat yang tepat bagiku untuk jatuh cinta kepada seseorang(tentunya lawan jenis) yang tepat pula!!!;-)

MDGs(The Millennium Development Goals )

Juli 26, 2008

What they are

At the Millennium Summit in September 2000 the largest gathering of world leaders in history adopted the UN Millennium Declaration, committing their nations to a new global partnership to reduce extreme poverty and setting out a series of time-bound targets, with a deadline of 2015, that have become known as the Millennium Development Goals.

The Millennium Development Goals (MDGs) are the world’s time-bound and quantified targets for addressing extreme poverty in its many dimensions-income poverty, hunger, disease, lack of adequate shelter, and exclusion-while promoting gender equality, education, and environmental sustainability. They are also basic human rights-the rights of each person on the planet to health, education, shelter, and security.

The world has made significant progress in achieving many of the Goals. Between 1990 and 2002 average overall incomes increased by approximately 21 percent. The number of people in extreme poverty declined by an estimated 130 million 1. Child mortality rates fell from 103 deaths per 1,000 live births a year to 88. Life expectancy rose from 63 years to nearly 65 years. An additional 8 percent of the developing world’s people received access to water. And an additional 15 percent acquired access to improved sanitation services.

But progress has been far from uniform across the world-or across the Goals. There are huge disparities across and within countries. Within countries, poverty is greatest for rural areas, though urban poverty is also extensive, growing, and underreported by traditional indicators.

Sub-Saharan Africa is the epicenter of crisis, with continuing food insecurity, a rise of extreme poverty, stunningly high child and maternal mortality, and large numbers of people living in slums, and a widespread shortfall for most of the MDGs. Asia is the region with the fastest progress, but even there hundreds of millions of people remain in extreme poverty, and even fast-growing countries fail to achieve some of the non-income Goals. Other regions have mixed records, notably Latin America, the transition economies, and the Middle East and North Africa, often with slow or no progress on some of the Goals and persistent inequalities undermining progress on others.

Goals, targets and indicators

The internationally agreed framework of 8 goals and 18 targets was complemented by 48 technical indicators to measure progress towards the Millennium Development Goals. These indicators have since been adopted by a consensus of experts from the United Nations, IMF, OECD and the World Bank.

Each indicator below is linked to millennium data series as well as to background series related to the target in question.

NOTE: for complete explanation, you can see in http://www.unmillenniumproject.org

Teori hubungan internasional

Juli 26, 2008

Hubungan Internasional, adalah cabang dari ilmu politik, merupakan suatu studi tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu global di antara negara-negara dalam sistem internasional, termasuk peran negara-negara, organisasi-organisasi antarpemerintah, organisasi-organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, dan perusahaan-perusahaan multinasional. Hubungan Internasional adalah suatu bidang akademis dan kebijakan publik dan dapat bersifat positif atau normatif karena Hubungan Internasional berusaha menganalisis serta merumuskan kebijakan luar negeri negara-negara tertentu.
Selain ilmu politik, Hubungan Internasional menggunakan pelbagai bidang ilmu seperti ekonomi, sejarah, hukum, filsafat, geografi, sosiologi, antropologi, psikologi, studi-studi budaya dalam kajian-kajiannya. HI mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi dan dampak-dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai kelestrarian ekologis, proliferasi nuklir, nasionalisme, perkembangan ekonomi, terorisme, kejahatan yang terorganisasi, keselamatan umat manusia, dan hak-hak asasi manusia.

//<![CDATA[
if (window.showTocToggle) { var tocShowText = “tampilkan”; var tocHideText = “sembunyikan”; showTocToggle(); }
//]]>
Sejarah

Sejarah hubungan internasional sering dianggap berawal dari [Perdamaian Westphalia] pada [1648], ketika sistem negara modern dikembangkan. Sebelumnya, organisasi-organisasi otoritas politik abad pertengahan [Eropa] didasarkan pada tatanan hirarkis yang tidak jelas. Westphalia membentuk konsep legal tentang kedaulatan, yang pada dasarnya berarti bahwa para penguasa, atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Otoritas Yunani dan Roma kuno kadang-kadang mirip dengan sistem Westphalia, tetapi keduanya tidak memiliki gagasan kedaulatan yang memadai. [Westphalia] mendukung bangkitnya negara-bangsa (nation-state), institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem yang berasal dari Eropa ini diekspor ke Amerika, Afrika, dan Asia, lewat kolonialisme, dan “standar-standar peradaban”. Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi selama [Perang Dingin]. Namun, sistem ini agak terlalu disederhanakan. Sementara sistem negara-bangsa dianggap “modern”, banyak negara tidak masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai “pra-modern”. Lebih lanjut, beberapa telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap “pasca-modern”. Kemampuan wacana HI untuk menjelaskan hubungan-hubungan di antara jenis-jenis negara yang berbeda ini diperselisihkan. “Level-level analisis” adalah cara untuk mengamati sistem internasional, yang mencakup level individual, negara-bangsa domestik sebagai suatu unik, level internasional yang terdiri atas persoalan-persoalan transnasional dan internasional level global.

[sunting] Teori hubungan internasional

Artikel utama: Teori hubungan internasional

Apa yang secara eksplisit diakui sebagai teori hubungan internasional tidak dikembangkan sampai setelah Perang Dunia I, dan dibahas secara lebih rinci di bawah ini. Namun, teori HI memiliki tradisi panjang menggunakan karya ilmu-ilmu sosial lainnya. Penggunaan huruf besar “H” dan “I” dalam Hubungan Internasional bertujuan untuk membedakan disiplin Hubungan Internasional dari fenomena hubungan internasional. Banyak orang yang mengutip Sejarah Perang Peloponnesia karya Thucydides sebagai inspirasi bagi teori realis, dengan Leviathan karya Hobbes dan The Prince karya Machiavelli memberikan pengembangan lebih lanjut. Demikian juga, liberalisme menggunakan karya Kant dan Rousseau, dengan karya Kant sering dikutip sebagai pengembangan pertama dari Teori Perdamaian Demokratis. Meskipun hak-hak asasi manusia kontemporer secara signifikan berbeda dengan jenis hak-hak yang didambakan dalam hukum alam, Francisco de Vitoria, Hugo Grotius, dan John Locke memberikan pernyataan-pernyataan pertama tentang hak untuk mendapatkan hak-hak tertentu berdasarkan kemanusiaan secara umum. Pada abad ke-20, selain teori-teori kontemporer intenasionalisme liberal, Marxisme merupakan landasan hubungan internasional.

[sunting] Studi HI

Pada mulanya, hubungan internasional sebagai bidang studi yang tersendiri hampir secara keseluruhan berkiblat ke Inggris. Pada 1919, Dewan Politik internasional dibentuk di University of Wales, Aberystwyth, lewat dukungan yang diberikan oleh David Davies, menjadi posisi akademis pertama yang didedikasikan untuk HI. Pada awal 1920-an, jurusan Hubungan Internasional dari London School of Economics didirikan atas perintah seorang pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Phillip Noel-Baker. Pada 1927, Graduate Institute of International Studies (Institut universitaire de hautes Ã(c)tudes internationales), didirikan di Jenewa, Swiss; institut ini berusaha menghasilkan sekelompok personel khusus untuk Liga Bangsa-bangsa. Program HI tertua di Amerika Serikat ada di Edmund A. Walsh School of Foreign Service yang merupakan bagian dari Georgetown Unversity. Sekolah tinggi pertama jurusan hubungan internasional yang menghasilkan lulusan bergelar sarjana adalah Fletcher Schooldi Tufts. Meskipun pelbagai sekolah tinggi yang didedikasikan untuk studi HI telah didirikan di Asia dan Amerika Selatan, HI sebagai suatu bidang ilmu tetap terutama berpusat di Eropa dan Amerika Utara.

[sunting] Teori Epistemologi dan teori HI

Teori-teori Utama Hubungan Internasional Realisme Neorealisme Idealisme Liberalisme Neoliberalisme Marxisme Teori dependensi Teori kritis Konstruksivisme Fungsionalisme Neofungsiionalisme

Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologis “positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material. Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain. Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” HI adalah tidak mungkin.

Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya, bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi. Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam HI “tradisional” karena teori-teori positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama periode akhir 1980-an/1990 perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis dan para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan dan disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga (Lapid 1989.)

[sunting] Teori-teori Positivis

Liberalisme/idealisme/Internasionalisme Liberal Teori hubungan internasional liberal muncul setelah Perang Dunia I untuk menanggapi ketidakmampuan negara-negara untuk mengontrol dan membatasi perang dalam hubungan internasional mereka. Pendukung-pendukung awal teori ini termasuk Woodrow Wilson dan Normal Angell, yang berargumen dengan berbagai cara bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan dari satu sama lain lewat kerjasama dan bahwa perang terlalu destruktif untuk bisa dikatakan sebagai pada dasarnya sia-sia. Liberalisme tidak diakui sebagai teori yang terpadu sampai paham tersebut secara kolektif dan mengejek disebut sebagai idealisme oleh E.H. Carr. Sebuah versi baru “idealisme”, yang berpusat pada hak-hak asasi manusia sebagai dasar legitimasi hukum internasional, dikemukakan oleh Hans Kóchler

[sunting] Realisme

Realisme, sebagai tanggapan terhadap liberalisme, pada intinya menyangkal bahwa negara-negara berusaha untuk bekerja sama. Para realis awal seperti E.H. Carr, Daniel Bernhard, dan Hans Morgenthau berargumen bahwa, untuk maksud meningkatkan keamanan mereka, negara-negara adalah aktor-aktor rasional yang berusaha mencari kekuasaan dan tertarik kepada kepentingan diri sendiri (self-interested). Setiap kerja sama antara negara-nge dijelaskan sebagai benar-benar insidental. Para realis melihat Perang Dunia II sebagai pembuktian terhadap teori mereka. Perlu diperhatikan bahwa para penulis klasik seperti Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes sering disebut-sebut sebagai “bapak-bapak pendiri” realisme oleh orang-orang yang menyebut diri mereka sendiri sebagai realis kontemporer. Namun, meskipun karya mereka dapat mendukung doktrin realis, ketiga orang tersebut tampaknya tidak mungkin menggolongkan diri mereka sendiri sebagai realis (dalam pengertian yang dipakai di sini untuk istilah tersebut).

[sunting] Neorealisme

Neorealisme terutama merupakan karya Kenneh Waltz (yang sebenarnya menyebut teorinya “realisme struktural”). Sambil tetap mempertahankan pengamatan-pengamatan empiris realisme, bahwa hubungan internasional dikarakterka oleh hubungan-hubungan antarnegara yang antagonistik, para pendukung neorealisme menunjuk struktur anarkis dalam sistem internasional sebagai penyebabnya. Mereka menolak berbagai penjelasan yang mempertimbangkan pengaruh karakteristik-karakteristik dalam negeri negara-negara. Negara-negara dipaksa oleh pencapaian yang relatif (relative gains) dan keseimbangan yang menghambat konsentrasi kekuasaan. Tidak seperti realisme, neo-realisme berusaha ilmiah dan lebih positivis. Hal lain yang juga membedakan neo-realisme dari realisme adalah bahwa neo-realisme tidak menyetujui penekanan realisme pada penjelasan yang bersifat perilaku dalam hubungan internasional. Neoliberalisme berusaha memperbarui liberalisme dengan menyetujui asumsi neorealis bahwa negara-negara adalah aktor-aktor kunci dalam hubungan internasional, tetapi tetap mempertahankan pendapat bahwa aktor-aktor bukan negara dan organisasi-organisasi antarpemerintah adalah juga penting. Para pendukung seperti Joseph Nye berargumen bahwa negara-negara akan bekerja sama terlepas dari pencapaian-pencapaian relatif, dan dengan demikian menaruh perhatian pada pencapaian-pencapaian mutlak. Meningkatnya interdependensi selama Perang Dingin lewat institusi-institusi internasional berarti bahwa neo-liberalisme juga disebut institusionalisme liberal. Hal ini juga berarti bahwa pada dasarnya bangsa-bangsa bebas membuat pilihan-pilihan mereka sendiri tentang bagaimana mereka akan menerapkan kebijakan tanpa organisasi-organisasi internasional yang merintangi hak suatu bangsa atas kedaulatan. Neoliberalimse juga mengandung suatu teori ekonomi yang didasarkan pada penggunaan pasar-pasar yang terbuka dan bebas dengan hanya sedikit, jika memang ada, intervensi pemerintah untuk mencegah terbentuknya monopoli dan bentuk-bentuk konglomerasi yang lain.

[sunting] Teori-teori pasca-positivis/reflektivis

[sunting] Teori masyarakat internasional (Aliran pemikiran Inggris)

Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Pemikiran Inggris, berfokus pada berbagai norma dan nilai yang sama-sama dimiliki oleh negara-negara dan bagaimana norma-norma dan nilai-nlai tersebut mengatur hubungan internasional. Contoh norma-norma seperti itu mencakup diplomasi, tatanan, hukum internasional. Tidak seperti neo-realisme, teori ini tidak selalu positivis. Para teoritisi telah berfokus terutama pada intervensi humanitarian, dan dibagi kembali antara para solidaris yang cenderung lebih menyokong hal tersebut, dan para solidaris, yang lebih menekankan tatanan dan kedaulatan, Nicholas Wheeler adalah seorang solidaris terkemuka, sementara Hedley Bull mungkin merupakan pluraris yang paling dikenal.

[sunting] Konstruktivisme Sosial

Kontrukstivisme Sosial mencakup rentang luas teori yang bertujuan menangani berbagai pertanyaan tentang ontologi, seperti perdebatan tentang lembaga (agency) dan Struktur, serta pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi, seperti perdebatan tentang “materi/ide” yang menaruh perhatian terhadap peranan relatif kekuatan-kekuatan materi versus ide-ide. Konstruktivisme bukan merupakan teori HI, sebagai contoh dalam hal neo-realisme, tetapi sebaliknya merupakan teori sosial. Konstruktivisme dalam HI dapat dibagi menjadi apa yang disebut oleh Hopf (1998) sebagai konstruktivisme “konvensional” dan “kritis”. Hal yang terdapat dalam semua variasi konstruktivisme adalah minat terhadap peran yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan ide. Pakar konstruktivisme yang paling terkenal, Alexander Wendt menulis pada 1992 tentang Organisasi Internasional (kemudian diikuti oleh suatu buku, Social Theory of International Politics 1999), “anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”) maka sistem tersebut akan dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut pendapat para pakar HI non-realis, Namun, banyak kritikus yang muncul dari kedua sisi pembagian epistemologis tersebut. Para pendukung pasca-positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara dengan mengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis yang lain. Penggunaan teori pilihan rasional secara implisit oleh Wendt juga telah menimbulkan pelbagai kritik dari para pakar seperti Steven Smith. Para pakar positivis (neo-liberalisme/realisme) berpendapat bahwa teori tersebut mengenyampingkan terlalu banyak asumsi positivis untuk dapat dianggap sebagai teori positivis.

[sunting] Teori Kritis

(Artikel utama: Teori hubungan internasional kritis) Teori hubungan internasional kritis adalah penerapan “teori kritis” dalam hubungan internasional. Pada pendukung seperti Andrew Linklater, Robert W. Cox, dan Ken Booth berfokus pada kebutuhan terhadap emansipansi (kebebasan) manusia dari Negara-negara. Dengan demikian, adalah teori ini bersfat “kritis” terhadap teori-teori HI “mainstream” yang cenderung berpusat pada negara (state-centric). Catatan: Daftar teori ini sama sekali tidak menyebutkan seluruh teori HI yang ada. Masih ada teori-teori lain misalnya fungsionalisme, neofungsionalisme, feminisme, dan teori dependen.

[sunting] Marxisme

Teori Marxis dan teori Neo-Marxis dalam HI menolak pandangan realis/liberal tentang konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek ekonomi dan materi. Marxisme membuat asumsi bahwa ekonomi lebih penting daripada persoalan-persoalan yang lain; sehingga memungkinkan bagi peningkatan kelas sebagai fokus studi. Para pendukung Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital). Dengan demikian, periode kolonialisme membawa masuk pelbagai sumber daya untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk pelbagai kesempatan baru dalam bentuk dependensi (ketergantungan). Berkaitan dengan teori-teori Marx adalah teori dependensi yang berargumen bahwa negara-negara maju, dalam usaha mereka untuk mencapai kekuasaan, menembus negara-negara berkembang lewat penasihat politik, misionaris, pakar, dan perusahaan multinasional untuk mengintegrasikan negara-negara berkembang tersebut ke dalam sistem kapitalis terintegrasi untuk mendapatkan sumber-sumber daya alam dan meningkatkan dependensi negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju. Teori-teori Marxis kurang mendapatkan perhatian di Amerika Serikat di mana tidak ada partai sosialis yang signifikan. Teori-teori ini lebih lazim di pelbagai bagian Eropa dan merupakan salah satu kontribusi teoritis yang paling penting bagi dunia akademis Amerika Latin, sebagai contoh lewat teologi.

[sunting] Teori-teori pascastrukturalis

Teori-teori pascastrukturalis dalam HI berkembang pada 1980-an dari studi-studi pascamodernis dalam ilmu politik. Pasca-strukturalisme mengeksplorasi dekonstruksi konsep-konsep yang secara tradisional tidak problematis dalam HI, seperti kekuasaan dan agensi dan meneliti bagaimana pengkonstruksian konsep-konsep ini membentuk hubungan-hubungan internasional. Penelitian terhadap “narasi” memainkan peran yang penting dalam analisis pascastrukturalis, sebagai contoh studi pascastrukturalis feminis telah meneliti peran yang dimainkan oleh “kaum wanita” dalam masyarakat global dan bagaimana kaum wanita dikonstruksi dalam perang sebagai “tanpa dosa” (innocent) dan “warga sipil”. Contoh-contoh riset pasca-positivis mencakup: Pelbagai bentuk feminisme (perang “gender” war—“gendering” war) Pascakolonialisme (tantangan-tantangan dari sentrisme Eropa dalam HI)

[sunting] Konsep-konsep dalam hubungan internasional

[sunting] Konsep-konsep level sistemik

Hubungan internasional sering dipandang dari pelbagai level analisis, konsep-konsep level sistemik adalah konsep-konsep luas yang mendefinisikan dan membentuk lingkungan (milieu) internasional, yang dikarakterkan oleh Anarki.

[sunting] Kekuasaan

Konsep Kekuasaan dalam hubungan internasional dapat dideskripsikan sebagai tingkat sumber daya, kapabilitas, dan pengaruh dalam persoalan-persoalan internasional. Kekuasaan sering dibagi menjadi konsep-konsep kekuasaan yang keras (hard power) dan kekuasaan yang lunak (soft power), kekuasaan yang keras terutama berkaitan dengan kekuasaan yang bersifat memaksa, seperti penggunaan kekuatan, dan kekuasaan yang lunak biasanya mencakup ekonomi, diplomasi, dan pengaruh budaya. Namun, tidak ada garis pembagi yang jelas di antara dua bentuk kekuasaan tersebut.

[sunting] Polaritas

Polaritas dalam Hubungan Internasional merujuk pada penyusunan kekuasaan dalam sistem internasional. Konsep tersebut muncul dari bipolaritas selama Perang Dingin, dengan sistem internasional didominasi oleh konflik antara dua negara adikuasa dan telah diterapkan sebelumnya. Sebagai akibatnya, sistem internasional sebelum 1945 dapat dideskripsikan sebagai terdiri dari banyak kutub (multi-polar), dengan kekuasaan dibagi-bagi antara negara-negara besar. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 telah menyebabkan apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai unipolaritas, dengan AS sebagai satu-satunya negara adikuasa. Beberapa teori hubungan internasional menggunakan ide polaritas tersebut. Keseimbangan kekuasaan adalah konsep yang berkembang luas di Eropa sebelum Perang Dunia Pertama, pemikirannya adalah bahwa dengan menyeimbangkan blok-blok kekuasaan hal tersebut akan menciptakan stabilitas dan mencegah perang dunia. Teori-teori keseimbangan kekuasaan kembali mengemuka selama Perang Dingin, sebagai mekanisme sentral dalam Neorealisme Kenneth Waltz. Di sini konsep-konsep menyeimbangkan (meningkatkan kekuasaan untuk menandingi kekuasaan yang lain) dan bandwagoning (berpihak dengan kekuasaan yang lain) dikembangkan. Teori stabilitas hegemonik juga menggunakan ide Polaritas, khususnya keadaan unipolaritas. Hegemoni adalah terkonsentrasikannya sebagian besar kekuasaan yang ada di satu kutub dalam sistem internasional, dan teori tersebut berargumen bahwa hegemoni adalah konfigurasi yang stabil karena adanya keuntungan yang diperoleh negara adikuasa yang dominan dan negara-negara yang lain dari satu sama lain dalam sistem internasional. Hal ini bertentangan dengan banyak argumen Neorealis, khususnya yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz, yang menyatakan bahwa berakhirnya Perang Dingin dan keadaan unipolaritas adalah konfigurasi yang tidak stabil yang secara tidak terelakkan akan berubah. Hal ini dapat diungkapkan dalam teori peralihan Kekuasaan, yang menyatakan bahwa mungkin suatu negara besar akan menantang suatu negara yang memiliki hegemoni (hegemon) setelah periode tertentu, sehingga mengakibatkan perang besar. Teori tersebut mengemukakan bahwa meskipun hegemoni dapat mengontrol terjadinya pelbagai perang, hal tersebut menyebabkan terjadinya perang yang lain. Pendukung utama teori tersebut, A.F.K. Organski, mengemukakan argumen ini berdasarkan terjadinya perang-perang sebelumnya selama hegemoni Inggris. Portugis, dan Belanda. Interdependensi Banyak orang yang menyokong bahwa sistem internasional sekarang ini dikarakterkan oleh meningkatnya interdepedensi atau kesalingbergantungan: tanggung jawab terhadap satu sama lain dan dependensi terhadap pihak-pihak lain. Para penyokong pendapat ini menunjuk pada meningkatnya globalisasi, terutama dalam hal interaksi ekonomi internasional. Peran institusi-institusi internasional, dan penerimaan yang berkembang luas terhadap sejumlah prinsip operasional dalam sistem internasional, memperkukuh ide-ide bahwa hubungan-hubungan dikarakterkan oleh interdependensi.

[sunting] Dependensi

Teori dependensi adalah teori yang paling lazim dikaitkan dengan Marxisme, yang menyatakan bahwa seperangkat negara Inti mengeksploitasi kekayaan sekelompok negara Pinggiran yang lebih lemah. Pelbagai versi teori ini mengemukakan bahwa hal ini merupakan keadaan yang tidak terelakkan (teori dependensi standar), atau menggunakan teori tersebut untuk menekankan keharusan untuk berubah (Neo-Marxisme).

[sunting] Perangkat-perangkat sistemik dalam hubungan internasional

Diplomasi adalah praktik komunikasi dan negosiasi antara pelbagai perwakilan negara-negara. Pada suatu tingkat, semua perangkat hubungan internasional yang lain dapat dianggap sebagai kegagalan diplomasi. Pemberian sanksi biasanya merupakan tindakan pertama yang diambil setelah gagalnya diplomasi dan merupakan salah satu perangkat utama yang digunakan untuk menegakkan pelbagai pernjanjian (treaties). Sanksi dapat berbentuk sanksi diplomatik atau ekonomi dan pemutusan hubungan dan penerapan batasan-batasan terhadap komunikasi atau perdagangan. Perang, penggunaan kekuatan, sering dianggap sebagai perangkat utama dalam hubungan internasional. Definisi perang yang diterima secara luas adalah yang diberikan oleh Clausewitz, yaitu bahwa perang adalah “kelanjutan politik dengan cara yang lain.” Terdapat peningkatan studi tentang “perang-perang baru” yang melibatkan aktor-aktor selain negara. Studi tentang perang dalam Hubungan Internasional tercakup dalam disiplin Studi Perang dan Studi Strategis. Mobilisasi tindakan memperlakukan secara internasional juga dapat dianggap sebagai alat dalam Hubungan Internasional. Hal ini adalah untuk mengubah tindakan negara-negara lewat “menyebut dan mempermalukan” pada level internasional. Penggunaan yang terkemuka dalam hal ini adalah prosedur Komisi PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia 1235, yang secara publik memaparkan negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

[sunting] Konsep-konsep unit level dalam hubungan internasional

Sebagai suatu level analisis level unit sering dirujuk sebagai level negara, karena level analisis ini menempatkan penjelasannya pada level negara, bukan sistem internasional.

[sunting] Tipe rezim

Sering dianggap bahwa suatu tipe rezim negara dapat menentukan cara suatu negara berinteraksi dengan negara-negara lain dalam sistem internasional. Teori Perdamaian Demokratis adalah teori yang mengemukakan bahwa hakikat demokrasi berarti bahwa negara-negara demokratis tidak akan saling berperang. Justifikasi terhadap hal ini adalah bahwa negara-negara demokrasi mengeksternalkan norma-norma mereka dan hanya berperang dengan alasan-alasan yang benar, dan bahwa demokrasi mendorong kepercayaan dan penghargaan terhadap satu sama lain. Sementara itu, komunisme menjustifikasikan suatu revolusi dunia, yang juga akan menimbulkan koeksitensi (hidup berdampingan) secara damai, berdasarkan masyarakat global yang proletar.

[sunting] Revisionisme/Status quo

Negara-negara dapat diklasifikasikan menurut apakah mereka menerima status quo, atau merupakan revisionis, yaitu menginginkan perubahan. Negara-negara revisionis berusaha untuk secara mendasar mengubah pelbagai aturan dan praktik dalam hubungan internasional, merasa dirugikan oleh status quo (keadaan yang ada). Mereka melihat sistem internasional sebagai untuk sebagian besar merupakan ciptaan barat yang berfungsi mengukuhkan pelbagai realitas yang ada. Jepang adalah contoh negara yang beralih dari negara revisionis menjadi negara yang puas dengan status quo, karena status quo tersebut kini menguntungkan baginya.

[sunting] Agama

Sering dianggap bahwa agama dapat memiliki pengaruh terhadap cara negara bertindak dalam sistem internasional. Agama terlihat sebagai prinsip pengorganisasi terutama bagi negara-negara Islam, sementara sekularisme terletak yang ujung lainnya dari spektrum dengan pemisahan antara negara dan agama bertanggung jawab atas tradisi Liberal.

[sunting] Konsep level sub unit atau individu

Level di bawah level unit (negara) dapat bermanfaat untuk menjelaskan pelbagai faktor dalam Hubungan Internasional yang gagal dijelaskan oleh teori-teori yang lain, dan untuk beranjak menjauhi pandangan yang berpusat pada negara (negara-sentris) dalam hubungan internasional. Faktor-faktor psikologis dalam Hubungan Internasional mengevaluasi faktor-faktor psikologis dalam hubungan internasional berasal dari pemahaman bahwa negara bukan merupakan kotak hitam seperti yang dikemukakan oleh Realisnme bahwa terdapat pengaruh-pengaruh lain terhadap keputusan-keputusan kebijakan luar negeri. Meneliti peran pelbagai kepribadian dalam proses pembuatan keputusan dapat memiliki suatu daya penjelas, seperti halnya peran mispersepsi di antara pelbagai aktor. Contoh yang menonjol dalam faktor-faktor level sub-unit dalam hubungan internasional adalah konsep pemikiran-kelompok (Groupthink), aplikasi lain yang menonjol adalah kecenderungan para pembuat kebijakan untuk berpikir berkaitan dengan pelbagai analogi-analogi Politik birokrat – Mengamati peran birokrasi dalam pembuatan keputusan, dan menganggap keputusan-keputusan sebagai hasil pertarungan internal birokratis (bureaucratic in-fighting), dan sebagai dibentuk oleh pelbagai kendala. Kelompok-kelompok keagamaan, etnis, dan yang menarik diri — Mengamati aspek-aspek ini dalam level sub-unit memiliki daya penjelas berkaitan dengan konflik-konflik etnis, perang-perang keagamaan, dan aktor-aktor lain yang tidak menganggap diri mereka cocok dengan batas-batas negara yang pasti. Hal ini terutama bermanfaat dalam konteks dunia negara-negara lemah pra-modern. Ilmu, Teknologi, dan Hubungan Internasional—Bagaimana ilmu dan teknologi berdampak pada perkembangan, teknologi, lingkungan, bisnis, dan kesehatan dunia.

[sunting] Institusi-institusi dalam hubungan internasional

Institusi-institusi internasional adalah bagian yang sangat penting dalam Hubungan Internasional kontemporer. Banyak interaksi pada level sistem diatur oleh institusi-institusi tersebut dan mereka melarang beberapa praktik dan institusi tradisional dalam Hubungan Internasional, seperti penggunaan perang (kecuali dalam rangka pembelaan diri).

Ketika umat manusia memasuki tahap peradaban global, beberapa ilmuwan dan teoritisi politik melihat hirarki institusi-institusi global yang menggantikan sistem negara-bangsa berdaulat yang ada sebagai komunitas politik yang utama. Mereka berargumen bahwa bangsa-bangsa adalah komunitas imajiner yang tidak dapat mengatasi pelbagai tantangan modern seperti efek Dogville (orang-orang asing dalam suatu komunitas homogen), status legal dan politik dari pengungsi dan orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan keharusan untuk menghadapi pelbagai masalah dunia seperti perubahan iklim dan pandemik. Pakar masa depan Paul Raskin telah membuat hipotesis bahwa bentuk politik Global yang baru dan lebih absah dapat didasarkan pada pluralisme yang dibatasi (connstrained pluralism). Prinsip ini menuntun pembentukan institusi-institusi berdasarkan tiga karakteristik: ireduksibilitas (irreducibility), di mana beberapa isu harus diputuskan pada level global; subsidiaritas, yang membatasi cakupan otoritas global pada isu-isu yang benar-benar bersifat global sementara isu-isu pada skala yang lebih kecil diatur pada level-level yang lebih rendah; dan heterogenitas, yang memungkinkan pelbagai bentuk institusi lokal dan global yang berbeda sepanjang institusi-institusi tersebut memenuhi kewajiban-kewajiban global.

[sunting] PBB

(Artikel Utama: PBB) PBB adalah organisasi internasional yang mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai “himpunan global pemerintah-pemerintah yang memfasilitasi kerjasama dalam hukum internasional, keamanan internasional, perkembangan ekonomi, dan kesetaraan sosial”. PBB merupakan institusi internasional yang paling terkemuka. Banyak institusi legal memiliki struktur organisasi yang mirip dengan PBB.

Penetapan Batam Sebagai Kawasan Ekonomi Khusus

Juli 26, 2008

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemajuan yang siginifikan ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang investasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) setelah pemerintah menerbitkan peraturan yang membebaskan pajak perseroan untuk masa dua tahun (Undang-undang No 11 Tahun 1970).Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Jo Undang-undang No 11 tahun 1970 dan Undang-undang No 6 Tahun 1968 Jo Undang-undang No 12 Tahun 1970 memberi kemudahan bagi pelaksanaan penanaman modal (investasi). Sejak berlakunya Undang-undang PMA tahun 1967, aliran modal asing setiap tahun menunjukan perkembangan dan peningkatan, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif. Batam, sebagai daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat ditujukan untuk menjadi tempat penanaman investasi baik PMA maupun PMDN. Letak wilayahnya yang strategis karena berdekatan dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura membuat Batam menjadi tempat yang efisien untuk penanaman invetasi. Hal ini ditunjang dengan peraturan tentang pengelolaan Pulau Batam. Pada awalnya pengembangan fungsi Batam didasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun1971 tentang “Pengembangan Pembangunan Pulau Batam (yang meliputi wilayah Batu Ampar saja )”, yang diarahkan untuk Membangun Pulau Batam sebagai Kawasan Berikat (Bonded Warehouse). Peraturan perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun1992 memperluas wilayahnya meliputi Pulau batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang serta beberapa Pulau Kecil yang berada di sekitar pulau Rempang-Galang (Wilayah Barelang).

Sedangkan penetapan Pulau Batam sebagai daerah Industri tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 yang disempurnakan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun1998. Penyempurnaan fungsi sebagai daerah industri yang diperluas hingga meliputi Wilayah Barelang ini dimaksudkan untuk menangkap peluang investasi yang lebih besar dan untuk memperlancar usaha pengembangan industri. Sejalan dengan perkembangan pembangunan Batam, pertumbuhan penduduk Batam-pun secara perlahan tapi pasti meningkat dan menumbuhkan adanya jasa perkotaan. Oleh sebab itu, di awal Tahun1980-an dipandang perlu adanya pengaturan khusus dalam hal penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, perlu ada lembaga di luar Badan Otorita Batam yang berperan untuk mengatur fungsi pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. Atas pertimbangan ini, Pemerintah Pusat kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34/1983 mengenai Pembentukan Kota Administratif Batam di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Riau sebagai perangkat dekonsentrasi. Sejak saat itu pula, pengelolaan kawasan Batam melibatkan dua lembaga, yakni Badan Otorita Batam dan Pemerintah Kota Administratif.
Perubahan besar terjadi setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah, yang menjadikan Batam sebagai daerah Pemerintahan Kota Otonom yang sama kedudukannya dengan kabupaten dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kedua peraturan ini selanjutnya dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dengan adanya perkembangan ini maka tidak dapat dipungkiri terjadi dualisme pemerintahan di Batam, yakni di satu sisi Otorita Batam selaku Badan yang mengembankan pembangunan dan investasi di Batam yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 – Keputusan Presiden Nomor 94 Tahun1998 dan Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 34/1983 mengenai Pembentukan Kota Administratif Batam di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Riau dan UU Np 13 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kota Batam.
Hal ini ditambah lagi dengan kurang sempurnanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian diikuti dengan terbitnya UU Nomor 53 Tahun 1999 tentang penetapan Kota Batam sebagai daerah otonom yang mengikutsertakan Otorita Batam (OB) dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kedua UU ini menjadi lemah karena saat itu belum ada peraturan pemerintah (PP) yang menindaklanjuti pembagian kewenangan antara kedua lembaga tersebut
Kelemahan UU Nomor 22 maupun UU Nomor 53 yang menyebabkan munculnya sejumlah masalah dalam pengembangan ekonomi dan tata kelola pemerintahan di Batam. Hal itu terjadi karena ketidakcukupan asumsi-asumsi melihat permasalahan pembangunan untuk merumuskan kedua UU tersebut. Asumsi yang digunakan terhadap Batam disamaratakan saja dengan kabupaten dan kota-kota lain di Indonesia. Padahal, karena sejarah perkembangannya yang berbeda dan posisinya yang strategis, Batam memiliki dimensi tertentu yang bersifat khusus, selain bersifat umum yang juga ditemukan di daerah lain.

II. PERMASALAHAN

Tantangan utama yang harus dihadapi oleh Kota Batam saat ini adalah bagaimana mengharmoniskan pembagian wewenang dua pemerintahan sehingga pengelolaan kotanya dapat berkembang dengan optimal. Perlu dicari terobosan taktis dan strategis agar hubungan keduanya menjadi sinergi dan bukannya kontroversi. Dengan adanya sinergi maka tujuan awal pembangunan kota Batam yang secara terencana memang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi dalam kemajuan ekonomi Nasional, pada era otonomi Daerah ini tetap dapat dilaksanakan. Bahkan, dengan adanya masalah ini maka investor yang telah menanamkan investasinya di Batam juga hengkang dan mencari negara lain yang kondusif dan memiliki kepastian hukum yang jelas.

Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat menyatakan enam investor asing siap meninggalkan Batam untuk berpindah ke Malaysia dan Vietnam, menyusul ketidakjelasan peraturan dan status Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Para investor yang berasal dari Singapura dan bergerak di bidang elektronik tersebut menilai peraturan di Batam semakin tidak jelas, serta biaya produksi semakin tinggi. Para investor tersebut juga mempertanyakan masih adanya dualisme perizinan dan kewenangan antara Otorita Batam dan Kotamadya Batam, sehingga membingungkan mereka. Sementara, Ketua Kadinda Batam Nada F Soraya menyatakan sudah ada 8 perusahaan yang membatalkan realisasi investasi mereka di Batam. Sedangkan 10 perusahaan memindahkan pabrik mereka ke luar Batam dan delapan perusahaan lagi sudah tidak aktif lagi. Dalam tempo lima tahun terakhir ini terjadi relokasi industri ke kawasan lain diluar Batam terutama ke luar negeri. Misalnya ke India seperti yang dilakukan PT Dynacs Digital Studio, Thailand yakni PT Viking Life Saving dan Kyocera Indonesia. Sementara itu perusahaan yang pindah ke Cina, yakni PT, Toyoplas Industries Indonesia dan Techtronic Appliances. Selain itu, dua perusahaan yakni PT NSG dan PT Chammaam Indonesia Tunisian Textile & Trade, membatalkan realisasi rencana investasi mereka. Kemudian enam lagi dipastikan menunda realisasi investasi. Keenamnya itu adalah PT Elektronik Assembling Indonesia, AKS, Filter Indonesia Tbk, Kiki Aditama Wijaya, Niaga Sakti, dan Sentosa Makmur Indonesia.

Penurunan aktivitas industri tersebut cukup mengkhawatirkan karena berimbas juga pada kelompok usaha lain di Batam, terutama usaha kecil menengah. Sebagai ilustrasi data Aspekalima Batam (Asosiasi Pedagang Kaki lima Batam) tahun 2005 mencatat sekitar 2000 pedagang kaki lima, padahal pada tahun sebelumnya mencapai 3.500 pedagang kaki lima. Permasalahan-permasalahan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum menyangkut investasi di Batam. Lantas, langkah apa yang diambil pemerintah untuk mengatasi hal ini ?

III. PEMBAHASAN

Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, terutama melalui penanaman modal asing. Kawasan industri (industrial estate) adalah kawasan yang dikhususkan untuk kegiatan industri lengkap disertai infrastruktur pendukung. Setiap perusahaan yang beroperasi tetap mengikuti aturan pajak dan kepabeanan. Ada ratusan kawasan industri di Indonesia, misalnya Bekasi, Karawang, Tanggerang, Semarang, Sidoarjo, Medan, Makassar dan Bontang. Kawasan berikat (bonded zone) adalah sebuah zona terbatas yang digunakan untuk tempat produksi barang dan material desain konstruksi, kegiatan perencanaan, pemilahan inspeksi pendahuluan dan akhir, pengemasan barang impor dan barang dari daerah pabean Indonesia lainnya. Barang-barang yang diimpor untuk kawasan berikat mendapat perlakuan khusus, misalnya penundaan kewajiban impor, bebas pajak, bebas PPN, bebas PPnBM, dan bebas PPH. Kawasan ekonomi khusus (special economic zone-SEZ) adalah kawasan tertentu dalam suatu negara yang punya hukum ekonomi lebih liberal. Tujuan utamanya, meningkatkan investasi asing. Praktek SEZ muncul dengan beragam nama, mulai dari kawasan perdagangan bebas, kawasan pemrosesan barang ekspor, kawasan bebas, kawasan industri, dan pelabuhan bebas. Menurut data Bank Dunia, sampai tahun 2007 terdapat lebih dari 3000 perusahaan di lokasi SEZ yang tersebar di 120 negara. Cina termasuk yang paling dulu membangun SEZ dengan Shenzen sebagai contoh paling berhasil dari sebuah kampung kecil menjadi kota berpenduduk 10 juta dalam 20 tahun.

Melihat kondisi Batam yang dinilai pemerintah sebagai keadaan darurat yakni banyaknya investor yang hengkang atau mengalihkan tempat usahanya dari Batam, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 36/2000 tentang penetapan Perpu No 1 /2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang dikeluarkan 4 Juni 2007. Batam sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) ditetapkan menjadi FTZ penuh. Sedangkan KEK Bintan dan Karimun sifat FTZ-nya terbatas, hanya di beberapa daerah (enclave). Sebelum Perpu ini terbit, yakni pada 22 Juni 2006, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura sepakat bekerja sama meningkatkan investasi di Batam, Bintan dan Karimun. Kawasan ini pun disebut sebagai KEK.
Tapi kesepakatan ini hanya bisa terealisasi jika ada payung hukum berupa undang-undang. Masalahnya, menerbitkan undang-undang butuh waktu yang lama karena harus mendapat persetujuan DPR. Demi mempelancar urusan legal KEK, maka pemerintah membuat perpu. Salah satu isi Perpu ini menyatakan, penetapan KEK tak perlu lagi lewat undang-undang tapi cukup dengan PP. Daerah mana saja serta aturan seperti apa yang diterapkan juga ditetapkan dengan PP, meski terpisah. Namun, saran untuk pemerintah adalah PP yang dikeluarkan harus memuat secara rinci segala aturan mengenai KEK.

Aturan yang termaktub, antara lain, soal kewenangan pemerintah daerah dengan pengelola KEK, kepemilikan lahan, tenaga kerja, dan bea cukai. Adapun PP No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang mengatur FTZ(Free Trade Zona) di Batam agak berbeda dengan daerah lainnya yakni Bintan dan Karimun. Pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Batam tidak perlu buru-buru dibentuk seperti daerah lainnya. Khusus Batam, Badan Pengusahaan ditetapkan paling lambat 31 Desember 2008. Sedangkan Badan Pengelola Kawasan Bintan dan Karimun harus sudah terbentuk setahun setelah beleid berlaku.
Pemerintah punya alasan, Batam sekarang punya Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Jadi selama Badan Pengusahaan belum terbentuk, tugasnya dilakukan Otorita Batam. Lantaran alasan tersebut pemerintah membuat tiga peraturan pemerintah yakni untuk Batam, Bintan dan terakhir Karimun. Tujuannya, pemerintah ingin menjaga iklim investasi yang sudah ada di pulau yang bertetangga dengan negeri Singapura.
Sehingga terdapat masa transisi untuk Otorita Batam sebelum perannya diambil Badan Pengusahaan. Seperti, kontrak-kontrak yang ditandatangani badan otorita dengan investor harus tetap jalan. Sementara itu, Badan Pengusahaan akan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.

Jika ini dapat terlaksana dengan baik, maka terdapat peluang yang menguntungkan bagi Batam dan para investor, diantaranya investor dapat memilih bangunan pabrik yang siap pakai di 14 (empat belas) kawasan industri dengan infrastruktur dan fasilitas lengkap. Tersedia bangunan pabrik seluas 1000 meter persegi di atas lahan 2000 meter persegi dengan harga hanya US$200.000, pekerja terdidik banyak dijumpai di Batam, tanpa perlu rekrutmen dari luar pulau. Selanjutnya, aplikasi investasi asing diproses secara one stop policy, dan disetujui dalam waktu tak lebih dari 20 hari. Semua perizinan diproses dalam satu atap oleh Otorita Batam (Batam Industrial Development Authorithy). Keunggulan lainnya adalah tanpa bea impor/ekspor untuk mesin, equipment, suku cadang dan raw material. Batam juga terbuka untuk bermacam jenis industri. Namun dengan status Batam dan lokasinya yang strategis maka industri pariwisata akan mengalami booming dengan kunjungan rata-rata 3.300 turis per hari (daerah wisata tersebut kedua setelah Bali).

Namun, langkah pemerintah yang dilakukan untuk memajukan Batam bukannya tanpa halangan, anggota DPR telah berancang-ancang menolak pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 / 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sesuai dengan mekanisme, setiap perpu harus dibahas di DPR. Jika DPR menolak mengesahkan, maka semua peraturan turunan Perpu itu pun tak legal alias batal. Sederet alasan lain menolak Perpu karena telah menabrak aturan hukum lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 32 / 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 / 2007 tentang Penanaman Modal. Perpu itu akan membuat kewenangan pemerintah daerah dikurangi dengan keberadaan pengelola KEK. Penetapan Perpu ini juga dinilai membuat iri daerah lain. Daerah-daerah menuntut perlakuan serupa. Padahal, jika semua tuntutan dipenuhi, pendapatan negara akan turun drastis. Selain itu, perpu itu belum menjamin tak terjadi penyelundupan seperti yang jamak terjadi selama ini. Sebab ada disparitas harga antara di KEK dengan kawasan perbatasan sangat besar. Beberapa pendapat lain yang tidak setuju dengan penetapan KEK menyatakan Indonesia tidak cocok dengan KEK. Malah terjadi salah kaprah tentang dasar penentuan KEK.
Memang tren KEK sedang menjamur di beberapa Negara. Di Cina, KEK terbukti sukses. Tapi jika ditelisik lebih jauh, kondisi Cina dengan Indonesia beda. Pada masa awal pemberlakuan kebijakan open door, Cina punya masalah dengan tingginya tarif impor dan birokrasi yang tak efisien. Untuk mengatasi masalah dengan cepat, Cina membuat KEK yang menyediakan insentif pajak khusus dan kebebasan ekspor-impor yang lebih besar. Di Indonesia, hampir semua jenis tarif penting sudah sangat rendah. Bahkan kebijakan open door sudah jauh lebih dulu diterapkan di Indonesia. Seharusnya, Indonesia fokus pada isu lain, diantaranya mengatasi masalah ekonomi, biaya tinggi dalam industri karena pembebasan PPN dalam jangka panjang tidak menguntungkan Negara. Meski ada suara sumbang, pemerintah maju terus. Apalagi pelamar KEK di Indonesia cukup banyak. Setidaknya ada sepuluh wilayah lain di luar Batam, Bintan dan Karimun yang sudah mengajukan permohonan ke Tim Persiapan Kawasan Ekonomi Khusus.

IV. KESIMPULAN

Keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 / 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang mengatur FTZ di Batam menjadi langkah positif bagi Batam sebagai tempat yang menarik investasi. Perpu dan PP ini tentunya membuat kepastian hukum untuk berinvestasi semakin jelas. Sehingga persoalan tentang dualisme kepemimpinan dan kewenangan antara Pemerintah Kota (Pemko) Batam dan Otorita Batam (OB) seperti yang dijelaskan di atas tidak akan timbul. Namun, langkah pemerintah ini bukannya tanpa halangan. Anggota DPR di Senayan Jakarta berancang-ancang untuk memblokade Perpu yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini. Sesuai dengan mekanisme, setiap perpu harus dibahas di DPR. Jika DPR menolak mengesahkan, maka semua peraturan turunan Perpu itu pun tak legal alias batal. Dan jika ini ternyata batal diundang-undangkan oleh DPR, maka keraguan akan kembali muncul dan para investor akan melihat tingkat kapastian hukum di Indonesia sangat rendah karena mudahnya peraturan yang dikeluarkan berubah atau batal dengan sendirinya. Jika DPR mendukung pun sebenarnya investor masih ragu. Sebab, pengesahan Perpu menjadi UU pun harus menjalani proses yang lama dan panjang. Sehingga jika pemerintah SBY tidak berkuasa lagi. Siapa yang akan menjamin peraturan yang diteken SBY ini tidak berubah dengan peraturan dari pemerintah yang baru dipilih?

Diplomasi dan politik dalam negeri: logika two-level games

Juli 26, 2008

Pendahuluan: kaitan politik dalam negeri dan politik internasional

Politik dalam negeri dan hubungan internasional sering memiliki pertalian, tetapi teori-teori yang ada belum memisahkan pertalian yang masih menjadi teka-teki ini. Tidak ada gunanya memperdebatkan apakah politik dalam negeri benar-benar menentukan hubungan internasional, atau sebaliknya. Jawabannya terhadap pertanyaan ini adalah jelas ‘kadang-kadang keduanya’. Pertanyaan yang lebih menarik adalah ‘kapan?’ dan ‘bagaimana’. Artikel ini memberikan pendekatan teoritis terhadap masalah ini, tetapi kita akan memulai dengan cerita yang menggambarkan teka-teki ini. Satu contoh yang menjelaskan tentang bagaimana diplomasi dan politik dalam negeri memiliki hubungan yaitu pada konferensi puncak Bonn tahun 1978. Ringkasnya, persetujuan Bonn menyajikan koordinasi kebijakan internasional yang nyata. Perubahan kebijakan yang signifikan disepakati dan dilaksanakan oleh para partisipan. Lebih lagi, meskipun klaim kontra fakta sulit berkembang – perubahan kebijakan ini sangat mungkin tidak diburu (tentunya tidak dengan skala sama dan pada kerangka waktu yang sama) dengan tidak adanya persetujuan internasional. Di setiap Negara, ada satu golongan yang mendukung pergantian kebijakan yang diminta secara internasional dari negara, tetapi golongan ini pada awalnya banyak jumlahnya. Dengan demikian, tekanan internasional adalah kondisi yang diperlukan untuk pergantian kebijakan ini. Di lain pihak, tanpa adanya reverberation (gaung)di dalam negeri, kekuatan internasional akan kurang menghasilkan persetujuan walaupun ada keseimbangan dan persuasive yang cerdas dari semua paket ini. Pada akhirnya, setiap pemimpin percaya bahwa apa yang dia kerjakan adalah untuk kepentingan bangsa – dan mungkin untuk kepentingannya sendiri juga, sekalipun tidak semua pembantunya setuju. Namun tanpa persetujuan dari pertemuan dia mungkin tidak akan atau tidak dapat mengubah kebijakan dengan mudah. Dalam pengertian ini, pertemuan Bonn telah berhasil mempertemukan tekanan dalam negeri dan tekanan internasional.

Baik analisis dalam negeri maupun internasional dapat menghasilkan episode ini. Interpretasi sebab-sebab dalam negeri maupun dampak internasional (kesan kedua) atau sebab-sebab internasional dan dampak dalam negeri (kesan kedua terbalik) hanya akan menunjukkan analisis ‘kesetimbangan parsial’ dan akan kehilangan bagian cerita yang penting, yaitu bagaimana politik dalam negeri di beberapa Negara menjadi terlibat melalui negosiasi internasional. Peristiwa tahun 1978 menggambarkan bahwa kita bermaksud — bahkan untuk teori-teori kesetimbangan umum — menghasilkan interaksi factor-faktor dalam negeri dan internasional. Artikel ini menyarankan adanya kerangka konseptual untuk memahami bagaimana diplomasi dan politik dalam negeri berinteraksi.

Pertalian dalam negeri-internasional: cita rasa seni

Banyak literature yang ada tentang hubungan antara urusan dalam negeri dan internasional terdiri dari daftar tetap ‘pengaruh dalam negeri’ yang tak terhitung tentang kebijakan luar negeri atau observasi bahwa urusan nasional dan internasional adalah agak ‘berhubungan’. James Rosenau adalah salah satu ahli pertama yang meminta perhatian terhadap bidang ini, tetapi taksonominya tentang ‘linkage politics’ membangkitkan beberapa penelitian kumulatif, kecuali kesibukan mengkorelasikan ‘conflict behavior’ dalam negeri dan internasional.

Gelombang kedua penyusunan teori yang relevan dimulai dengan penelitian oleh Karl Deutsch dan Ernst Haas tentang integrasi regional. Haas, secara khusus, menekankan dampak pihak-pihak dan kelompok kepentingan terhadap proses integrasi Eropa, dan gagasan tentang ‘spillover’ mengenali umpan balik antara perkembangan dalam negeri dan internasional. Peninggalan tradisi yang cerdas ini, seperti misalnya Joseph Nye dan Robert Keohane, menekankan saling ketergantungan dan transnasionalisme, tetapi peran factor-faktor dalam negeri menggelinding keluar dari focus, khususnya karena konsep regim internasional semakin mendominasi sub bidang ini. Pendidikan ‘politik birokrasi’ tentang analisis kebijakan luar negeri menginisiatifkan serangan lain terhadap masalah interaksi dalam negari dan internasional. Seperti yang ditulis Graham Allison, ‘penerapan ke hubungan antara bangsa-bangsa, model politik birokrasi mengarahkan perhatian kita ke permainan intra-nasional, overlapping ini merupakan hubungan internasional. Meskipun demikian, sifat dari overlaping ini masih belum dijelaskan, dan kontribusi teoritis dari literature ini tidak berkembang di luar prinsip bahwa birokraasi menarik perhatian hal-hal tentang pembuatan kebijakan luar negeri.

Beberapa study dalam bidang ‘state-centric’ menunjukkan model kemarahan. Proposisi sentral dari makalah ini, mencatat satu studi baru, ‘bahwa negara membawa kepentingannya dari dan menganjurkan kebijakan-kebijakan yang konsisten dengan system internasional di sepanjang waktu dan di bawah semua situasi. Dengan demikian, literature state-sentric adalah dasar tidak tetap untuk menyusun teori tentang bagaimana politik dalam negeri dan internasional berinteraksi.

Two-level games: metafora untuk interaksi dalam negeri-internasional

Lebih dari dua decade yang lalu Richard E. Walton dan Robert B. McKersie menawarkan sebuah ‘teori tingkah laku’ negosiasi social yang bisa diterapkan ke konflik dan kerjasama internasional. Politik negosiasi internasional dapat diterima sebagai two-level games. Pada level nasional, kelompok dalam negeri mengejar kepentingannya dengan menekan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung. Pada level internasional, pemerintah nasional berusaha untuk memaksimalkan kemampuannya sendiri untuk memuaskan tekanan dalam negeri, dengan meminimalkan dampak perkembangan asing yang buruk. Kedua permainan ini bisa diabaikan oleh pembuat keputusan pusat, sepanjang negaranya masih saling ketergantungan, namun berdaulat.

Masing-masing pemimpin politik nasional tampak di kedua papan permainan. Pada meja seberang internasional duduk rekan asing, dan pada sisinya duduk diplomat dan penasehat internasional yang lain. Di sekitar meja dalam negeri di belakangnya duduk figure-figur partai dan parlemen, negarawan untuk agensi-agensi dalam negeri, perwakilan kelompok kepentingan utama, dan penasehat politiknya sendiri. Kompleksitas yang tidak biasanya dari two-level games adalah bahwa gerakan rasional bagi pemain pada satu papan (seperti naiknya harga energi, pengakuan territorial, atau membatasi eksport kendaraan) bisa tidak politis bagi pemain yang sama pada papan yang lain.

Metafora adalah bukan teori, tetapi saya merasa senang dengan observasi Max Black bahwa ‘mungkin setiap ilmu pengetahun harus memulai dengan metafora dan berakhir dengan aljabar; dan mungkin tanpa metafora ini tidak akan pernah ada aljabar. Analisis formal dari permainan ini memerlukan peraturan, pilihan, pertukaran, pemain dan informasi yang ditentukan dengan baik, dan bahkan kemudian, sebanyak dua orang, permainan motif campuran tidak memiliki solusi menentukan. Mencari solusi analitis untuk two-level games akan menjadi tantangan yang sulit.

Menuju teori ratifikasi: pentingnya ‘win-sets’

Negosiator yang mewakili dua organisasi bertemu untuk mencapai persetujuan antara mereka, masalah utama dari ketidakleluasaan ini adalah bahwa suatu persetujuan harus diratifikasi oleh organisasi yang terhormat. Negosiator bisa seorang kepala pemerintahan yang mewakili bangsa-bangsa, atau perwakilan buruh atau manajemen, atau pemimpin partai dalam koalisi multi partai, atau menteri keuangan yang bernegosiasi dengan tim IMF, atau pemimpin komite konferensi dewan-senat, atau pemimpin kelompok etnis dalam demokrasi masyarakat. Untuk momen ini, kita akan berasumsi bahwa masing-masing pihak diwakili oleh pemimpin tunggal atau negosiator kepala, dan bahwa individu ini tidak memiliki preferensi kebijakan independent, tetapi hanya berusaha untuk mencapai persetujuan yang akan menarik bagi pengikutnya.

Secara analitis menyenangkan untuk menyusun proses ini ke dalam dua tahap:

  1. penawaran diantara negosiator, yang mendorong ke persetujuan sementara; disebut level 1.
  2. memisahkan diskusi di masing-masing kelompok konstituen tentang apakah meratifikasi persetujuan tersebut, disebut level II.

Ratifikasi bisa mencakup prosedur voting formal pada level II, seperti voting dua per tiga yang dibutuhkan secara konstitusi dari senat Amerika untuk meratifikasi perjanjian, tetapi saya menggunakan istilah ini secara generic untuk merujuk ke proses keputusan pada level II yang diperlukan untuk mengesahkan atau memberlakukan persetujuan level I, baik formal maupun informal. Pelaku pada level II bisa mewakili agensi birokratis, kepentingan kelompok, kelas-kelas social, atau bahkan ‘opini publik’. Misalnya, jika persatuan buruh di negara debitor menahan kerjasama yang dibutuhkan dari program ketegangan yang telah dinegosiasikan dengan IMF. Ratifikasi level II dari persetujuan bisa dikatakan telah gagal, harapan selanjutnya tentang prospek itu akan mempengaruhi negosiasi level I antara pemerintah dan IMF.

Satu-satunya batasan formal pada proses ratifikasi adalah bahwa karena persetujuan yang sama harus diratifikasi oleh kedua pihak, persetujuan level I awal tidak dapat di amandemenkan pada level II tanpa membuka kembali negosiasi level I. Dengan kata lain ratifikasi terakhir harus di vote up atau down, suatu modifikasi ke persetujuan Level I sebagai suatu penolakan, kecuali kalau modifikasi ini disetujui oleh semua pihak lain ke persetujuan. Kemungkinan gagalnya ratifikasi menyatakan bahwa analisis teoritis permainan itu seharusnya membedakan antara peninggalan voluntary dan involuntary. Peninggalan Voluntary merujuk ke pengingkaran oleh orang egoist rasional dengan tidak adanya kontrak yang bisa dilakukan – misalnya problem yang banyak dianalisa pada dilemma penjara dan dilemma lain dari tindakan kolektif. Penyimpangan involuntary malahan menunjukkan tingkah laku agen yang tidak mampu mengirimkan pada janji karena kegagalan ratifikasi. Sekalipun dua jenis tingkah laku ini bisa sulit untuk menguraikan dalam beberapa contoh, logika yang mendasari adalah cukup berbeda.

Penentu win-set

Penting untuk memahami kondisi apa yang mempengaruhi ukuran win-set. Tiga set factor adalah sangat penting:

  • level II preferensi dan koalisi
  • Level II kelembagaan
  • Level 1 strategi negosiator

1. Ukuran win-set tergantung pada distribusi kekuasaan, pilihan, dan kemungkinan koalisi di antara konstituen level II.

Teori two-level tentang negosiasi internasional harus ditelusuri dalam teori politik dalam negeri, yaitu, teori tentang kekuasaan dan pilihan actor utama pada level II. Ini bukan kesempatan bahkan evaluasi dari alternative-alternatif yang relevan, kecuali mencatat bahwa kerangka konseptual dua-level secara prinsip dapat dikawinkan dengan pendangan-pendangan yang berbeda seperti Marxism, pluralisme kelompok kepentingan, politik birokrasi, dan neo-korporatisme. Misalnya, negosiasi senjata bisa diinterpretasikan dalam hal model politik birokrasi politicking level II, sementara analisis kelas atau neo-corporatism mungkin tepat untuk menganalisa koordinasi makroekonomi internasional.

Akan tetapi, abstraksi dari detail politik level II adalah mungkin untuk menyusun prinsip-prinsip tertentu yang mengatur ukuran win-sets. Misalnya, semakin rendah cost ‘no-agreement’ ke konstituen, semakin kecil win-set. Ingat bahwa ratifikasi persetujuan yang diusulkan, tidak melawan alternative lain (yang mungkin menarik), tetapi hanya melawan ‘no-agreement’. Dalam beberapa kasus, evaluasi no-agreement mungkin satu-satunya disagreement yang signifikan di antara konstituen level II, karena kepentingannya relative homogen. Misalnya, jika import minyak harus dibatasi oleh agreement di antara negara-negara yang mengkonsumsi. Negosiasi melibatkan isu-isu beragam, seperti misalnya persetujuan senjata yang melibatkan pertukaran antara senjata laut dan udara, atau persetujuan buruh yang melibatkan pertukaran antara take-home pay dan pensions.

Problem menghadapi negosiator level I berhubungan dengan konflik homogenus (atau batas) adalah berbeda dari menghadapi negosiator yang berhubungan dengan konflik heterogen. Masalah utama negosiator dalam konflik homogen adalah mengelola perbedaan antara harapan konstituen dan outcome yang bisa dinegosiasikan. Tugas negosiator yang bergulat dengan konflik heterogen adalah lebih komplek, tetapi memiliki potensi lebih menarik, yaitu berusaha untuk memaksimalkan kesempatan ratifikasi.

2. Ukuran win-set tergantung pada kelembagaan politik level II.

Prosedur ratifikasi dengan jelas mempengaruhi ukuran win-set. Misalnya, jika dua per tiga suara diperlukan untuk ratifikasi, win-set hampir pasti lebih kecil dari pada jika hanya mayoritas sederhana yang dibutuhkan. Seperti yang telah ditulis oleh pengamat berpengalaman: ‘Di bawah konstitusi, tiga puluh empat dari seratus senator dapat mem blokir ratifikasi suatu perjanjian. Ini adalah fitur yang unik dan tidak menyenangkan dari birokrasi kita. Karena kekuatan veto yang efektif dari sebuah kelompok kecil, maka banyak persetujuan yang berharga telah ditolak, dan banyak perjanjian tidak pernah dipertimbangkan untuk ratifikasi. Seperti yang di catat di awal, pemisahan kekuasaan Amerika membuat pembatasan yang lebih ketat pada kepada win-set Amerika dari pada yang benar di banyak negara lain. Ini meningkatkan kekuatan bargaining negosiator Amerika, tetapi ini juga mengurangi cakupan kerjasama internasional. Ini meningkatkan keganjilan penyimpangan involuntary dan membuat partner yang berpotensial perang berhubungan dengan Amerika.

Tidak semua praktik ratifikasi yang signifikan diformalisasikan: misalnya, kecenderungan Jepang untuk berusaha mencari consensus dalam negeri yang sangat luas mungkin sebelum bertindak akan mengganggu win-set Jepang, yang berbeda dengan budaya politik mayoritas. Praktik-praktik politik dalam negeri lain, juga, dapat mempengaruhi ukuran win set. Disiplin yang kuat di dalam partai yang berkuasa, misalnya akan meningkatkan win set dengan memperluas rentang persetujuan dimana negosiator level I dapat mengharapkan untuk menerima pengembalian. Misalnya, pada tahun 1986 komite konferensi House-Senate tentang reformasi pajak, rancangan terakhir adalah lebih dekat ke versi Senate, meskipun (atau karena) control yang lebih besar anggota Conggress Rostenkowski tentang delegasinya, yang meningkatkan win-set dewan perwakian, memperlemah disiplin partai di negara-negara Barat utama, mengurangi cakupan kerjasama internasional.

Diskusi terbaru tentang ‘state strength’ dan ‘state autonomy’ adalah relevan di sini. Semakin besar otonomi pembuat keputusan pusat dari konstituen level II, maka semakin besar win-set nya dan dengan demikian semakin besar mencapai persetujuan internasional.

3. Ukuran win-set tergantung pada strategi negosiator level I

Masing-masing negesiator level I memiliki kepentingan yang tegas dalam memaksimalkan win-set pihak lain, tetapi dengan melihat win-set nya, motifnya bercampur. Semakin besar win-set nya, semakin mudah dia dapat menyimpulkan negosiator lain. Fakta ini sering memiliki dilemma taktis. Misalnya, satu cara yang efektif untuk menunjukkan komitmen ke posisi yang ada dalam bargaining level I adalah dengan mendukung konstituen lain (misalnya, menangani suara langsung, berbicara tentang perbedaan senjata atau membicarakan tentang ‘praktik perdagangan yang tidak adil’. Sebaliknya taktik seperti ini bisa memiliki dampak yang tidak dapat diubah terhadap sikap konstituent, menghambat ratifikasi selanjutnya tentang persetujuan kompromi. Sebaliknya, konsultasi awal di dalam negeri, yang bertujuan untuk ‘melancarkan’ konstituen dalam mengantisipasi perjuangan ratifikasi, dapat memotong kemampuan negosiator untuk merencanakan kesan kepala batu luar negeri.

Negosiator yang berpengalaman yang familiar dengan meja dalam negeri selanjutnya harus mampu memaksimalkan keefektifan cost (kepada dia dan konstituennya) dari kelonggaran bahwa dia harus menjamin ratifikasi luar negeri, serta keefektifan cost tuntutan dan ancamannya, dengan mentargetkan inisiatifnya dengan insiden level II nya, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pada usaha level I ini negosiator sering di dalam kolusi, karena masing-masing memiliki kepentingan dalam membantu yang lain untuk mendapatkan deal akhir yang diratifikasi. Sehingga, mereka bergerak bersama menuju titik tangensi antara kurva indeference politis. Frekuensi empiris dari target di dalam negosiasi perdagangan dan peran perdagangan, serta di dalam negosiasi internasional lain, akan menjadi uji yang penting dari analisis pelaku konvensional dan pendekatan two level yang diusulkan di sini.

Ketidakpastian dan Taktik Bargaining

Ketidakpastian tentang ukuran win-set dapat menjadi alat bargaining dan pemblokiran dalam negosiasi two level. Dalam penawaran level I yang murni distributive, negosiator memiliki insentif untuk mengecilkan win-set nya. Karena tiap-tiap negosiator sepertinya tahu banyak tentang level II nya sendiri dari pada lawannya, klaim ini masuk akal. Ini adalah sama dengan taktik yang dijelaskan oleh Snyder dan Diesing, bila negosiator berusaha untuk mengeksploitasi pembagian di dalam pemerintahannya dengan mengatakan, ‘anda lebih baik membuat deal dengan saya, karena yang lain bahkan lebih buruk’.

Sebaliknya, ketidakpastian tentang win-set lawan meningkatkan perhatian seseorang tentang resiko penyimpangan involuntary. Persetujuan hanya dapat ditemukan jika masing-masing negosiator diyakinkan bahwa deal yang diusulkan ada di dalam win-set jumlah oposisi dan dengan demikian akan diratifikasi. Ketidakpastian tentang ratifikasi pihak B menurunkan nilai persetujuan yang diharapkan ke pihak B, dan dengan demikian pihak B akan menuntut lebih keras pembayaran sampingan dari pihak A dari pada yang akan diperlukan di bawah kondisi ketidakpastian. Di dalam kenyataan, pihak B memiliki rangsangan untuk berpura-pura ragu tentang kemampuan A untuk melaksanakan, tepatnya untuk mencabut tawaran yang lebih keras.

Ketidakpastian tentang pola kurva indifference politik memiliki penggunaan yang strategis. Sebaliknya, bila negosiator mencari paket baru yang bisa meningkatkan kedua posisinya, kesalahan penyajian win-set seseorang dapat menjadi kontra produktif. Solusi yang kreatif yang mengembangkan cakupan untuk pemerolehan bersama dan meningkatkan hasil ratifikasi adalah memerlukan informasi yang cukup akurat tentang preferensi konstituen dan poin khusus. Analisis two-level game memberikan banyak ilustrasi tentang observasi Zartman bahwa semua negosiasi melibatkan ‘pertukaran informasi parsial yang terkontrol.

Restrukturisasi dan Reverberasi (gaung)

Secara formal, analisis teoritis game meminta bahwa struktur tentang isu-isu dan hasilnya dijelaskan dimuka. Akan tetapi dalam kenyataan, banyak dari apa yang terjadi dalam banyak situasi penawaran melibatkan usaha-usaha oleh pemain untuk merestrukturisasi game dan mengubah persepsi satu sama lain tentang cost no-agreement dan keuntungan persetujuan yang diusulkan. Taktik seperti ini lebih sulit pada two-level game dari pada negosiasi konvensional, karena lebih sulit untuk mencapai konstituen pada pihak lain dengn pesan persuasive. Meskipun demikian, pemerintah berusaha untuk mengembangkan win-set satu sama lain. Banyak aktivitas kedutaan – merayu opini para pemimpin, mengembangkan kontak dengan pihak-pihak oposisi, menawarkan bantuan asing ke negara yang bersahabat, tetapi tidak stabil, dan sebagainya – akan memiliki fungsi yang tepat. Ketika pejabat Jepang mengunjungi Capitol Hill, atau diplomat Inggris melobi para pemimpin Irish-American, mereka berusaha untuk menyegarkan hambatan dalam negeri yang mungkin sebaliknya akan mencegah administrasi dari kerjasama dengan pemerintahnya.

Dalam beberapa contoh, mungkin bahkan secara tidak sengaja, tekanan internasional ‘bergaung’ di dalam politik dalam negeri, yang memerlukan keseimbangan dalam negeri dan dengan demikian mempengaruhi negosiasi internasional. Tepatnya bentuk reverberation (gaung) yang ditandai dengan negosiasi pertemuan tahun 1978. Dieter Hiss, orang Tibet Jerman dan salah satu dari mereka yang percaya bahwa program stimulus adalah untuk kepentingan Jerman sendiri, kemudian menulis bahwa pertemuan-pertemuan akan mengubah kebijakan nasional

Sejauh ini dengan mereka memobilisasi dan/atau mengubah opini public dan sikap kelompok-kelompok politik …. Sering kali sudah cukup, jika keseimbangan opini berubah, yang memberikan kepada mayoritas untuk menghalangi dari minoritas kuat …. Tidak ada negara yang melanggar kepentingannya sendiri, tetapi tentunya definisi tentang kepentingan ini dapat berubah melalui pertemuan dengan pertukaran yang mungkin dan saling memberi dan menerima.

Dari sudut pandang teori social-choice ortodok, reverberation (gaung) merupakan problematis, ini menyatakan interkoneksi di antara fungsi-fungsi manfaat actor independent, pada level-level game yang berbeda. Dua rasional bisa ditawarkan untuk menjelaskan reverberation (gaung) di antara egois-egois yang memaksimalkan kemanfaatan. Pertama, di dunia yang komplek, saling tergantung, tetapi sering tidak bersahabat, menyerang orang asing mungkin sangat mahal dalam jangka panjang. To get along, go along (bekerja bersama, berjalan bersama), mungkin dalil yang rasional. Rasional ini sepertinya lebih umum, lebih tergantung (atau saling ketergantungan), dan sepertinya lebih persuasive ke actor pelaku level II yang lebih terekspose secara internasional, seperti misalnya korporasi multinasional dan bank-bank internasional.

Rasional kedua mempertimbangkan factor-faktor kognitif dan ketidakpastian. Akan menjadi suatu kesalahan bagi ilmuwan politik yang meniru sebagian besar ahli ekonomi untuk elemen persuasive dalam negosiasi. Dengan ketidakpastian yang besar yang mengelilingi banyak isu-isu internasional, pesan dari luar negeri dapat mengubah pikiran, menggerakkan keraguan, dan memperhatikan mereka yang minoritas di dalam negeri. Reverberation (gaung) akan lebih banyak di antara negara-negara dengan hubungan yang dekat dan mungkin lebih banyak dalam ekonomi dari pada negosiasi politik-militer.

Reverberasi seperti yang didiskusikan sejauh ini menyatakan bahwa tekanan internasional mengembangkan win-set dalam negeri dan memfasilitasi persetujuan. Akan tetapi, reverberasi dapat juga negative, dalam arti bahwa tekanan asing bisa menciptakan backlash dalam negeri. Reverberasi negative mungkin secara empiris kurang umum dari pada reverberasi positif, hanya karena orang asing sepertinya akan menghindari tekanan public jika dikenali menjadi kontraproduktif. Teori keseimbangan kognitif menyatakan bahwa tekanan internasional adalah lebih ke reverberasi negative jika sumbernya pada umumnya dipandang oleh pemirsa dalam negeri sebagai merugikan dari pada sekutu. Meskipun demikian, memprediksi dampak yang tepat dari tekanan asing diakui sulit, meskipun secara empiris, reverberasi tampak sering terjadi di dalam two-level games.

Peran negosiator kepala

Dalam model khusus negosiasi two level yang digambarkan di sini, negosiator kepala adalah satu-satunya hubungan formal antara Level I dan Level II. Motif negosiator kepala meliputi:

  1. meningkatkan pemahaman dalam permainan level II dengan meningkatkan sumber-sumber politiknya atau dengan meminimalkan potensi kehilangan. Misalnya, kepala pemerintahan bisa mencari popularitas yang dia harapkan cocok dengannya jika dia menyimpulkan persetujuan internasional yang berhasil, atau dia bisa mengantisipasi bahwa hasil-hasil persetujuan (misalnya, pertumbuhan yang cepat atau pengeluaran pertahanan yang rendah) akan berharga secara politis.
  2. merubah keseimbangan kekuatan pada level II dalam mendukung kebijakan dalam negeri yang dia inginkan untuk alasan-alasan eksogenus. Negosiasi internasional kadang-kadang memungkinkan para pemimpin pemerintahan untuk melakukan apa yang mereka inginkan untuk mereka kerjakan, tetapi tidak berdaya untuk melakukan secara dalam negeri. Di luar kasus tahun 1978 yang sekarang familiar, pola ini mencirikan banyak program stabilisasi yang dikatakan (menyesatkan) yang dikenakan oleh IMF. Misalnya, pada negosiasi tahun 1974 dan 1977 antara Itali dan IMF, kekuatan konservatif dalam negeri mengeksploitasi tekanan IMF untuk memfasilitasi gerakan kebijakan yang mungkin secara internal.
  3. untuk mengejar konsep tentang kepentingan nasional dalam konteks internasional. Ini tampak merupakan penjelasan yang paling baik dari usaha luar biasa untuk kepentingan Panama Canal Treaty, serta komitmen Woodrow Wilson yang akhirnya fatal sampai Versailles Treaty.

MAFIA BERTOPENG KEADILAN

Juli 26, 2008

Ternyata teori tidaklah selalu sejalan dengan kenyataan yang ada. Banyak sekali teori yang tidak sesuai dengan praktek atau penerapannya, entah itu secara disengaja atau tidak. Yang jelas saat ini banyak sekali praktek dan pola penyimpangan peradilan. Mereka-mereka yang berada di lembaga peradilan, yang seharusnya mampu mengayomi rakyat dan memberikan keadilan di tengah masyarakat, justru berbuat sebaliknya. Seakan-akan kepercayaan masyarakat terhadap mereka berubah menjadi keraguan. Seolah mereka diliputi oleh keraguan akan kualitas putusan hakim terhadap suatu penyelesaian sengketa. Ternyata pergeseran anggapan ini tidak hanya terhadap kualitas putusan hakim, tetapi juga terhadap pihak lainnya, mulai dari Pengacara, Kepolisian, Kejaksaan, bahkan para pihak tersangka dan keluarga pelaku serta korban. Kondisi lembaga peradilan seperti inilah yang telah menggelisahkan banyak masyarakat. Seolah-olah aturan serta sumpah jabatan yang diucapkan oleh mereka sudah tidak dihiraukan lagi. Berbagai cara dilakukan agar pemperoleh kemenangan dalam suatu kasus penyelesaian sengketa, bukan malah untuk mendapatkan keadilan. Maka dari itu, mungkin tujuan Penulis menghadirkan buku ini di tengah para pencari keadilan adalah berusaha memberikan model alternatif dalam penyelesaian sengketa di luar peradilan yaitu melalui advokasi dan penyelesaian sengketa hukum, agar masyarakat tidak ikut terjebak ke dalam pola berpikir yang sempit ketika menghadapi problema-problema yang terjadi di tengah masyarakat. Selain itu, buku ini juga ditujukan bagi mahasiswa fakultas hukum yang menekuni mata kuliah Advokasi dan Pilihan Penyelesaian Sengketa Hukum sebagai bahan bacaan yang dapat membantu dan memberikan wacana baru bagi mereka mengingat masih langkanya bahan bacaan dan bahan ajar untuk pengembangan mata kuliah tersebut.

Sedikit akan saya berikan ulasan singkat mengenai isi buku ini. Buku ini terdiri atas tiga bagian pokok bahasan. Yaitu, bagian pertama mengenai latar belakang pendayagunaan advokasi dan pilihan penyelesaian sengketa, bagian kedua mengenai konseptualisasi advokasi dan pilihan penyelesaian sengketa, dan bagian ketiga menguraikan tentang implementasi advokasi dalam berbagai kasus. Pada bagian pertama, Penulis memaparkan tentang berbagai gerakan-gerakan hukum kritis, mulai dari tujuan gerakan hukum kritis, landasan yang dipakai ketika melakukan gerakan studi hukum kritis, hingga pada posisi dan peran mahasiswa sebagai intelektual muda yang berpengaruh besar terhadap tindakan studi ini. Penulis menilai bahwa mahasiswa memiliki tingkat analisis dan berpikir yang kritis terhadap segala ketidakadilan, eksploitasi, dan subordinasi serta kekerasan yang sedang berlangsung di masyarakat. Pada bagian pertama ini juga menjelaskan tentang banyaknya praktek-praktek menyimpang yang terjadi di lembaga peradilan dengan mengambil sampel pada tiga kota besar. Banyaknya oknum-oknum peradilan yang terlibat begitu gamblang dipaparkan secara lugas dan kritis. Mulai dari kinerja aktor lembaga-lembaga tersebut hingga dampak atas kinerja tersebut terhadap masyarakat. Tentunya dengan keadaan yang demikian sangat diharapkan adanya partisipasi dari masyarakat yakni dengan melakukan eksaminasi publik terhadap putusan hakim selama ini yang cenderung dinilai berat sebelah. Sebab pada hakekatnya, eksaminasi public terhadap suatu putusan hakim merupakan social control, eksternal control, dan ‘to judging’ terhadap subtansi putusan badan-badan peradilan. Bagi masyarakat awam, menjalankan semua itu bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu ada beberapa sistematika dan syarat yang harus dipenuhi serta kode etik dalam melakukan eksaminasi publik. Di bagian ini, Pembaca dapat mengetahui segala tindak-tanduk ‘tikus-tikus kelaparan’ di lembaga peradilan. Ada satu bagian kalimat dari sebuah paragraf yang saya suka dan kelihatannya memang cocok untuk menggambarkan situasi lembaga peradilan di negeri ini. Kalimat tersebut berbunyi,” Krisis putusan hakim pengadilan negeri ini disebabkan karena , hakim yang apabila memutus, terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap putusan perutnya itu”. Wah, kalimat barusan sungguh mengena sekali dan mengendung makna yang seakan-akan hakim-lah yang menjadi biang keladi dari semua putusan yang dibuat selama ini. Hahaha…

Jika pada bagian pertama lebih banyak menjelaskan tentang perilaku menyimpang disertai contoh kasusnya, lain halnya di bagian kedua buku ini. Di bagian pertama, pembaca dihadapkan pada situasi yang mungkin menimbulkan gejolak emosi yang seakan benci terhadap lembaga peradilan. Tetapi di bagian kedua, penulis menghadirkan pilihan penyelesaian konflik atau sengketa, sesuai dengan tingkat kepentingan dan pemenuhan kebutuhan dasarnya dalam memandang konflik atau sengketa itu sendiri. Konflik atau sengketa dapat diselesaikan melalui mekanisme ligitasi, non ligitasi, maupun advokasi. Masing-masing mekanisme tersebut memiliki ciri atau karakter tersendiri , persyaratan, serta kekuatan berlakunya satu sama lain tidaklah sama. Mengingat saat ini pengadilan, oleh masyarakat, dinilai bukanlah satu-satunya lagi lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa. Lebih-lebih lembaga tersebut sudah terinfiltrasi dengan berbagai kasus KKN, sehingga masyarakat memberinya stigma “Mafia Peradilan”, dimana kinerja lembaga ini menyimpang dari azas-azas keadilan, cepat, dan murah dalam menangani setiap kasusnya. Mengingat cepatnya perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di masyarakat, seorang aktivis mau tidak mau harus melakukan refleksi dan aksi setiap kali selesai melakukan kegiatan mediasi maupun advokasi, guna melakukan evaluasi tingkat keberhasilan atau perkembangan atas kegiatan yang telah dilakukan. Kepekaan dan keberpihakan aktivis terhadap masyarakat yang tersingkir dan terpinggirkan dalam proses pembangunan sangatlah diperlukan mengingat seringnya kebijakan public justru memperparah keadaan masyarakat yang terlibat dalam konflik tersebut. Di sinilah peran mediasi dan advokasi sosial dibutuhkan kehadirannya di tengah masyarakat yang dirugikan dalam proses percepatan pembangunan, seperti buruh tani hingga buruh industri serta anak-anak dan wanita yang menjadi korban kekerasan dan perdagangan, dan masih banyak lagi bentuknya. Selain mediasi dan advokasi, tata cara penyelesaian sengketa secara damai atau dikatakan sebagai ADR telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia. ADR sering diartikan sebagai alternatif to litigation dan alternative to adjudication. Pilihan terhadap salah satu dari dua pengertian tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama menjadi acuan, seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Namun apabila ADR dipahami sebagai alternative to adjudication, maka dapat meliputi mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Pada tulisan selanjutnya di bagian kedua ini akan teruraikan mengenai penerapan teknik negosiasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa hukum di luar pengadilan­, arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa perburuhan di Indonesia, serta PAR(Participatory Action Reseach sebagai salah satu metode pelaksanaan penelitian pemberdayaan masyarakat. Dalam mempelajari negosiasi di buku ini, selain kita menemukan pola tentang tata cara para pihak yang akan bernegosiasi, kita juga menemukan beberapa cara untuk maju dan mencapai kesepakatan yang lebih baik dari orang lain, tentu saja tergantung pada kriteria yang dipakai untuk menilai proses dan hasil yang dicapai dalam negosiasi itu. Sedangkan untuk arbitrase sendiri, yang selama ini dinilai sebagai lembaga penyelesaian sengketa perburuhan di Indonesia, ternyata masih banyak kelemahan yang mendasar, sehingga hal ini perlu pengkajian mendalam oleh para akademisi supaya hasil penelitian/pengkajiannya akan memberikan masukan yang mendasar bagi pengkritisan lebih jauh terhadap eksistensi lembaga ini, sehingga tidak terjebak pada keberpihakan yang buta. Selain negosiasi dan arbitrase, PAR juga dianggap sebagai salah satu metode dan pendekatan untuk mempelajari kondisi dan kehidupan masyarakat dari, dengan dan oleh masyarakat itu sendiri. Walaupun secara konseptual, metode PAR ini terkesan sangat ideal, namun pelaksanaannya tidak semudah teorinya, terutama di man atredapat kecenderungan politik pemerintah yang sangat represif dan feodal. Sebab dalam prakteknya acapkali muncul berbagai permasalahan baik pada tataran konseptual, strategis, dan teknis. Pada tataran konseptual, permasalahannya adalah bagaimana mengalihkan kontrol dan wewenang dari tangan peneliti ke tangan komunitas. Pada tingkat strategis, persoalannnya terletak pada penentuan strategi makna yang paling sesuai dan layak untuk dikerjakan. Sedangkan pada tingkat tekni sendiri, permasalahan justru berkutat pada intensitas keterlibatan peneliti dan kelemahan mengorganisasikan dokumentasi. Pada bagian ketiga buku ini, Penulis lebih memberikan contoh-contoh kasus yang telah dikaji sebelumnya, dan penulis mengambilnya dari makalah-makalah yang digunakan dalam seminar-seminar. Mungkin tujuan Penulis menyertakan contoh-contoh tersebut tak lain agar masyarakat mengetahui secara konkret bentuk penyimpangan yang terjadi di dalam lembaga peradilan.

Setelah membutuhkan waktu beberapa hari untuk membaca buku ini, ada banyak bagian dari buku ini yang sangat menarik dan berkesan bagi saya dan mungkin Pembaca lainnya. Mulai dari sudut pandang penulis hingga pemikiran-pemikiran kritis penulis dengan gaya bahasanya yang khas, yaitu lugas dan mengena. Mungkin inilah kelebihan yang dimiliki buku ini, sehingga membedakannya dengan buku lainnya. Kebanyakan penulis buku lainnya tidak sebegitu blak-blakan dalam mengungkap dan mengkritisi sebuah kasus. Tetapi, Bapak Rachmad , selaku penulis buku ini, sikapnya sangat berani dan dalam mengritisi sesuatu sangatlah tajam, bahkan tak segan-segan untuk menyebut merk tanpa basa-basi ataupun menggunakan inisial. Misalnya saja tulisannya yang terdapat pada halaman 32 alinea kedua, dia menyebutkan nama-nama hakim yang menurutnya bisa berlaku adil. Tentunya tak akan tertulis kalimat seperti itu jikalau dari penulis sendiri tidak memiliki keberanian yang tinggi, sebab bisa jadi pendapatnya tersebut menimbulkan pro-kontra. Maka dari itu, buku ini cocok sekali untuk dibaca oleh siapa pun, semua kalangan masyarakat, tidak hanya mahasiswa dan akademisi saja yang berhak tahu mengenai fenomena-fenomena ketidakadilan tersebut. Tapi akan lebih bagus, bila buku ini dibaca oleh para ‘mafia di lembaga peradilan’ , agar mereka dapat menghentikan praktek mafianya. Terlepas dari semua itu, tentunya ada beberapa kelemahan dari buku ini, terutama pada penulisan ejaannya. Banyak kesalahan penulisan(baik istilah Indonesia maupun istilah asing) di buku ini yang tidak sesuai dengan EYD(ada yang kurang salah satu hurufnya, ada yang diulang-ulang kata-katanya,dsb), sehingga hal ini bisa dijadikan evaluasi bagi editor/penerbit. Mengenai cover buku ini, menurut saya sudah sesuai dengan judul. Dan ada satu hal yang menurut saya menjadi kelemahan buku ini, yakni tentang penilaian Penulis yang terlalu subjektif terhadap lembaga peradilan. Tapi itu semua saya rasa tidak akan jadi masalah sepanjang pembaca tidak salah paham terhadap setiap tulisan yang tercantum di dalam buku ini.

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

Juli 26, 2008

Walaupun pada bab sebelumnya, kenyataan menunjukkan bahwa negara merupakan subjek hukum internasional yang terutama, namun tidak merupakan satu-satunya subjek hukum internasional. Anggapan bahwa negara adalah satu-satunya subjek hukum internasional merupakan suatu anggapan yang wajar sekali, sebab seringkali hubungan antarnegara diidentikkan dengan hubungan internasional.

Persoalan hukum internasional bisa kita tinjau secara teoritis dan secara praktis. Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa subjek hukum sebenarnya hanyalah negara. Misalkan pada Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 tentang perlindungan korban perang yang membrikan hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara tdak langsungkepada orang perorangan (individu) melalui negara-(nya) yang menjadi peserta konvensi itu. Oleh sebab itu, banyak keadaan atau peristiwa individu menjadi subjek hukum internasional. Hal ini sejalan dengan teori transformasi yang mengatakan bahwa perjanjian internasional hanya berlaku dalam wilayah suatu negara yang menjadi pesertanya setelah diundangkannya undang-undang pelaksanaannya (implementing legislation). Lain halnya dengan suatu pendekatan praktis yang berpangkal tolak pada kenyataan yang ada, baik kenyataan mengenai keadaan masyarakat internasional pada masa sekarang maupun hukum yang mengaturnya. Yang terpenting adalah yang harus menjadi pangkal tolak bagi pembahasan soal subjek hukum internasional itu adalah pengertian subjek hukum internasional itu sendiri. Dalam arti sebenarnya subjek hukum internasioal adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional penuh, sebab negaralah yang menjadi subjek hukum iternasional dalam arti ini. Namun, di satu sisi juga terdapat berbagai macam subjek hukum internasional yang memperoleh kedudukannya berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena perkembangan sejarah. Apabila kita melihat persoalan secara demikian, maka hukum internasional dapat mengenal subjek hukum internasional melalui 6 subjek yaitu 1) Negara, 2) Takhta Suci, 3) Palang Merah Internasional atau International Committee of The Red Corporation(ICRC), 4) Organisasi Internasional, 5) Orang perorangan (individu), 6) Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent).

Berikut saya akan mencoba menguraikan satu-persatu secara singkat:

Negara

Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Begitu pula dalam suatu negara federal, yang menjadi pengemban hak dan kewajiban subjek hukum internasional bukan hanya dari pemerintah federal itu sendiri, melainkan ada kalanya konstitusi federal juga mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintahannya. Salah satu contohnya adalah konstitusi USSR memungkinkan dalam batas-batas tertentu negara bagian seperti Byelo-Rusia SSR dan Ukranian SSR mengadakan hubungan luar negeri sendiri disamping USSR dalam beberapa konferensi internasional misalnya Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 dan tahun 1960.

Takhta Suci

Takhta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu disamping negara. Dalam kategori yang sama, yaitu subjek hukum internasional karena sejarah, walaupun dalam arti yang jauh lebih terbatas dapat pula disebut suatu satuan yang bernama Order of The Knights of Malta. Namun, himpunan ini hanya diakui oleh beberapa negara sebagai subjek hukum internasional.

Palang Merah Internasional / International Committee of The Red Corporation

Walaupun kedudukan Palang Merah Internasional memiliki tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional, namun sekarang secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas.

Organisasi Internasional

Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi, sebab organisasi internasional seperti PBB dan ILO mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini sebenarnya sudah dapat dikatakan bahwa mereka merupakan subjek hukum internasional, setidak-tidaknya menurut hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi internasional tadi.

Orang perorangan (individu)

Dalam arti yang terbatas orang perorangan sudah agak lama dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional. Pernyataan tersebut mungkin dapat kita benarkan berdasarkan beberapa sejarah, di antaranya tentang perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri PD I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, dengan masing-masing sekutunya, sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional, sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di hadapan suatu peradilan internasional. Ketentuan yang serupa terdapat dalam perjanjian antara Jerman dan Polandia tahun 1922 mengenai Silesia Atas( Upper Silesia).

Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent)

Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa keadaan tertentu. Namun dewasa ini timbul gerakan pembebasan seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Sekedar untuk diketahui bahwa PLO membuat sejarah ketika Yasser Arafat, menghadiri sidang PBB sebagai pemimpin suatu gerakan pembebasan dalam masa sidang 1974-1975.

Pengakuan gerakan pembebasan demikian merupakan penjelmaan dari suatu konsepsi baru yang terutama dianut oleh negara-negara dunia ketiga yang didasarkan atas pengertian bahwa bangsa-bangsa dianggap mempunyai beberapa hak asasi seperti hak menentukan nasib sendiri, hak secara bebas memilih sistem ekonomi,politik,dan sosial sendiri dan hak menguasai sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya.

Perhaps from me to finish this topic, maybe we can get conclusion. Here the ones:

Kita tidak dapat lagi begitu saja mengatakan bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antara negara-negara, dan bahwa negara merupakan satu-satunya subjek hukum internasional. Dalam hukin masa kini jumlah subjek hukin yang bukan negara telah kian bertambah. Juga melihat substansinya hukin masa kini makin banyak memperhatikan hak dan kepentingan orang perorangan dan mengatur hubungan (hukum) yang mencakup subjek hukum bukan negara. Kesemuanya ini merupakan penjelmaan dari mesyarakat internasional itu sendiri yang sedang mengalami suatu proses perkembangan dan perubahan. Namun, betapapun juga perubahan yang sedang terjadi, kenyataan masih menunjukkan bahwa konsepsi tradisional masih belum bisa dikesampingkan begitu saja.

Bangsa-Negara Indonesia:Bentuk Negara dan Sistem Demokrasi yang berubah-ubah dalam krisis

Juli 26, 2008

Apa yang kita saksikan dan alami tampaknya tidaklah keliru jika kita berkata : menjadi merdeka, betapa tidak mudahnya. Coba kita lihat dalam pengertian yang lebih khusus dalam kaitannya dengan bentuk negara dan penataan system pemerintahan dalam arti yang dijalankan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dari awal Indonesia merdeka, kita sudah mengenal system demokrasi parlementer-liberal walaupun tidaklah bertahan lama. Kemudian kita berganti pada system demokrasi terpimpin, yang mana pada system ini, banyak sekali pro dan kontra yang terjadi.

Secara tradisional para ilmuwan politik telah meluncurkan pertanyaan-pertanyaan tentang demokrasi. Modern Democracies karya James Bryce(1921) dan Constitutional Government and Democracy karya Carl.J. Friedrich (1937) merupakan wakil dari trend ini. Perhatian kepada demokrasi menyertakan isu-isu pemilihan umum dan legitimasi constitutional ke dalam analisis politik. Lucian Pye (1965 dan 1966) menekankan pembangunan sebagai penguatan nilai-nilai dan praktek-praktek demokrasi. Ia berpendapat, bahwa adanya partisipasi pluralistik, system multipartai, dan politik persaingan maupun stabilitas politik dan penghindaran ketegangan yang berlebihan. Pembangunan demokrasi, bagaimanapun juga, harus diimbangi dengan pemerintahan yang kuat dan kewenangan yang teratur. Ketika pemerintahan berkembang lewat peningkatan pembedaan, krisis kesetaraan dan kapasitas, maka akan menimbulkan terjadinya : krisis identitas, legitimasi, partisipasi, penetrasi, dan distribusi.

Setiap krisis tersebut akan digambarkan secara terpisah. Krisis identitas berhubungan dengan budaya massa dan elit dalam pengertian perasaan-perasaan nasional mengenai wilayah, pembelahan yang menggerogoti kesatuan nasional, dan konflik antara loyalitas etnik dengan komitmen nasional. Misalnya, pada peristiwa DI/TII dan PRRI-Permesta, serta gerakan separatis di Irian Jaya/Papua(OPM-Organisasi Papua Merdeka). Bahkan muncul juga gerakan separatis lainnya yang terjadi di Aceh, yang biasa kita kenal dengan Gerakan Aceh Merdeka, dan lain sebagainya. Krisis legitimasi tumbuh karena perbedaan-perbedaan mengenai kewenangan, misalnya, ketika sebuah kelompok penguasa terpaksa bersaing memperebutka kekuasaan dengan kelompok-kelompok lain atau mengklaim kekuasaan seorang penguasa ditolak oleh massa sebagai tidak berlegitimasi. Krisis partisipasi adalah sebuah konflik yang terjadi ketika elit yang memerintah memenadang permintaan dan perilaku individu-individu dan kelompok-kelompok yang mencoba berpartisipasi dalam system politik sebagai tidak berlegitimasi. Seperti contoh pada zaman Orde Baru, dimana rakyat tidak diperkenankan untuk memberikan suaranya secara langsung. Baru pada tahun 2004, dilaksanakanlah pemilu secara langsung yang pertama kalinya. Krisis penetrasi dicirikan oleh tekanan-tekanan kepada elit yang memerintah untuk membuat adaptasi atau inovasi institusional dengan keragaman tertentu. Krisis distribusi dianalisis dalam pengertian masalah-masalah seperti ideology, sumber daya fisik dan manusia, serta lingkungan institusional.

Oleh karena itu, sampai sekarang pun seebenarnya krisis di Indonesia belum juga berakhir. Selama periode awal reformasi telah terjadi gerakan-gerakan yang menggunakan isu demokrasi untuk melakukan berbagai perubahan dalam hubungan dengan pengaturan diri sebagai bangsa-negara. Sekilas, jikalau kita melihat perjalanan di kelampauan sejarah kitu, tampak dengan jelas fakta bahwa persoalan utama yang akan tetap dihadapi adalah format system politik yang akan dikembangkan secara berkesinambungan. Artinya, sampai seberapa mungkin pemimpin-pemimpin bangsa-negara mampu menjalankan suatu system demokrasi yang membuka peluang bagi semua warga untuk memperoleh kesempatan mengambil peranannya berdasarkan konstitusi yang berlaku, sehingga bangsa-negara kita terhindar dari krisis-krisis tersebut. Tuntutan untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera baik dalam era kemerdekaan bangsa-negara sekarang dan yang di masa depan, akan tetap menjadi taruhan bagi tidak hanya berubahnya bentuk negara, melainkan juga keberadaan kita sebagai bangsa-negara Indonesia.