Diplomasi dan politik dalam negeri: logika two-level games

Pendahuluan: kaitan politik dalam negeri dan politik internasional

Politik dalam negeri dan hubungan internasional sering memiliki pertalian, tetapi teori-teori yang ada belum memisahkan pertalian yang masih menjadi teka-teki ini. Tidak ada gunanya memperdebatkan apakah politik dalam negeri benar-benar menentukan hubungan internasional, atau sebaliknya. Jawabannya terhadap pertanyaan ini adalah jelas ‘kadang-kadang keduanya’. Pertanyaan yang lebih menarik adalah ‘kapan?’ dan ‘bagaimana’. Artikel ini memberikan pendekatan teoritis terhadap masalah ini, tetapi kita akan memulai dengan cerita yang menggambarkan teka-teki ini. Satu contoh yang menjelaskan tentang bagaimana diplomasi dan politik dalam negeri memiliki hubungan yaitu pada konferensi puncak Bonn tahun 1978. Ringkasnya, persetujuan Bonn menyajikan koordinasi kebijakan internasional yang nyata. Perubahan kebijakan yang signifikan disepakati dan dilaksanakan oleh para partisipan. Lebih lagi, meskipun klaim kontra fakta sulit berkembang – perubahan kebijakan ini sangat mungkin tidak diburu (tentunya tidak dengan skala sama dan pada kerangka waktu yang sama) dengan tidak adanya persetujuan internasional. Di setiap Negara, ada satu golongan yang mendukung pergantian kebijakan yang diminta secara internasional dari negara, tetapi golongan ini pada awalnya banyak jumlahnya. Dengan demikian, tekanan internasional adalah kondisi yang diperlukan untuk pergantian kebijakan ini. Di lain pihak, tanpa adanya reverberation (gaung)di dalam negeri, kekuatan internasional akan kurang menghasilkan persetujuan walaupun ada keseimbangan dan persuasive yang cerdas dari semua paket ini. Pada akhirnya, setiap pemimpin percaya bahwa apa yang dia kerjakan adalah untuk kepentingan bangsa – dan mungkin untuk kepentingannya sendiri juga, sekalipun tidak semua pembantunya setuju. Namun tanpa persetujuan dari pertemuan dia mungkin tidak akan atau tidak dapat mengubah kebijakan dengan mudah. Dalam pengertian ini, pertemuan Bonn telah berhasil mempertemukan tekanan dalam negeri dan tekanan internasional.

Baik analisis dalam negeri maupun internasional dapat menghasilkan episode ini. Interpretasi sebab-sebab dalam negeri maupun dampak internasional (kesan kedua) atau sebab-sebab internasional dan dampak dalam negeri (kesan kedua terbalik) hanya akan menunjukkan analisis ‘kesetimbangan parsial’ dan akan kehilangan bagian cerita yang penting, yaitu bagaimana politik dalam negeri di beberapa Negara menjadi terlibat melalui negosiasi internasional. Peristiwa tahun 1978 menggambarkan bahwa kita bermaksud — bahkan untuk teori-teori kesetimbangan umum — menghasilkan interaksi factor-faktor dalam negeri dan internasional. Artikel ini menyarankan adanya kerangka konseptual untuk memahami bagaimana diplomasi dan politik dalam negeri berinteraksi.

Pertalian dalam negeri-internasional: cita rasa seni

Banyak literature yang ada tentang hubungan antara urusan dalam negeri dan internasional terdiri dari daftar tetap ‘pengaruh dalam negeri’ yang tak terhitung tentang kebijakan luar negeri atau observasi bahwa urusan nasional dan internasional adalah agak ‘berhubungan’. James Rosenau adalah salah satu ahli pertama yang meminta perhatian terhadap bidang ini, tetapi taksonominya tentang ‘linkage politics’ membangkitkan beberapa penelitian kumulatif, kecuali kesibukan mengkorelasikan ‘conflict behavior’ dalam negeri dan internasional.

Gelombang kedua penyusunan teori yang relevan dimulai dengan penelitian oleh Karl Deutsch dan Ernst Haas tentang integrasi regional. Haas, secara khusus, menekankan dampak pihak-pihak dan kelompok kepentingan terhadap proses integrasi Eropa, dan gagasan tentang ‘spillover’ mengenali umpan balik antara perkembangan dalam negeri dan internasional. Peninggalan tradisi yang cerdas ini, seperti misalnya Joseph Nye dan Robert Keohane, menekankan saling ketergantungan dan transnasionalisme, tetapi peran factor-faktor dalam negeri menggelinding keluar dari focus, khususnya karena konsep regim internasional semakin mendominasi sub bidang ini. Pendidikan ‘politik birokrasi’ tentang analisis kebijakan luar negeri menginisiatifkan serangan lain terhadap masalah interaksi dalam negari dan internasional. Seperti yang ditulis Graham Allison, ‘penerapan ke hubungan antara bangsa-bangsa, model politik birokrasi mengarahkan perhatian kita ke permainan intra-nasional, overlapping ini merupakan hubungan internasional. Meskipun demikian, sifat dari overlaping ini masih belum dijelaskan, dan kontribusi teoritis dari literature ini tidak berkembang di luar prinsip bahwa birokraasi menarik perhatian hal-hal tentang pembuatan kebijakan luar negeri.

Beberapa study dalam bidang ‘state-centric’ menunjukkan model kemarahan. Proposisi sentral dari makalah ini, mencatat satu studi baru, ‘bahwa negara membawa kepentingannya dari dan menganjurkan kebijakan-kebijakan yang konsisten dengan system internasional di sepanjang waktu dan di bawah semua situasi. Dengan demikian, literature state-sentric adalah dasar tidak tetap untuk menyusun teori tentang bagaimana politik dalam negeri dan internasional berinteraksi.

Two-level games: metafora untuk interaksi dalam negeri-internasional

Lebih dari dua decade yang lalu Richard E. Walton dan Robert B. McKersie menawarkan sebuah ‘teori tingkah laku’ negosiasi social yang bisa diterapkan ke konflik dan kerjasama internasional. Politik negosiasi internasional dapat diterima sebagai two-level games. Pada level nasional, kelompok dalam negeri mengejar kepentingannya dengan menekan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung. Pada level internasional, pemerintah nasional berusaha untuk memaksimalkan kemampuannya sendiri untuk memuaskan tekanan dalam negeri, dengan meminimalkan dampak perkembangan asing yang buruk. Kedua permainan ini bisa diabaikan oleh pembuat keputusan pusat, sepanjang negaranya masih saling ketergantungan, namun berdaulat.

Masing-masing pemimpin politik nasional tampak di kedua papan permainan. Pada meja seberang internasional duduk rekan asing, dan pada sisinya duduk diplomat dan penasehat internasional yang lain. Di sekitar meja dalam negeri di belakangnya duduk figure-figur partai dan parlemen, negarawan untuk agensi-agensi dalam negeri, perwakilan kelompok kepentingan utama, dan penasehat politiknya sendiri. Kompleksitas yang tidak biasanya dari two-level games adalah bahwa gerakan rasional bagi pemain pada satu papan (seperti naiknya harga energi, pengakuan territorial, atau membatasi eksport kendaraan) bisa tidak politis bagi pemain yang sama pada papan yang lain.

Metafora adalah bukan teori, tetapi saya merasa senang dengan observasi Max Black bahwa ‘mungkin setiap ilmu pengetahun harus memulai dengan metafora dan berakhir dengan aljabar; dan mungkin tanpa metafora ini tidak akan pernah ada aljabar. Analisis formal dari permainan ini memerlukan peraturan, pilihan, pertukaran, pemain dan informasi yang ditentukan dengan baik, dan bahkan kemudian, sebanyak dua orang, permainan motif campuran tidak memiliki solusi menentukan. Mencari solusi analitis untuk two-level games akan menjadi tantangan yang sulit.

Menuju teori ratifikasi: pentingnya ‘win-sets’

Negosiator yang mewakili dua organisasi bertemu untuk mencapai persetujuan antara mereka, masalah utama dari ketidakleluasaan ini adalah bahwa suatu persetujuan harus diratifikasi oleh organisasi yang terhormat. Negosiator bisa seorang kepala pemerintahan yang mewakili bangsa-bangsa, atau perwakilan buruh atau manajemen, atau pemimpin partai dalam koalisi multi partai, atau menteri keuangan yang bernegosiasi dengan tim IMF, atau pemimpin komite konferensi dewan-senat, atau pemimpin kelompok etnis dalam demokrasi masyarakat. Untuk momen ini, kita akan berasumsi bahwa masing-masing pihak diwakili oleh pemimpin tunggal atau negosiator kepala, dan bahwa individu ini tidak memiliki preferensi kebijakan independent, tetapi hanya berusaha untuk mencapai persetujuan yang akan menarik bagi pengikutnya.

Secara analitis menyenangkan untuk menyusun proses ini ke dalam dua tahap:

  1. penawaran diantara negosiator, yang mendorong ke persetujuan sementara; disebut level 1.
  2. memisahkan diskusi di masing-masing kelompok konstituen tentang apakah meratifikasi persetujuan tersebut, disebut level II.

Ratifikasi bisa mencakup prosedur voting formal pada level II, seperti voting dua per tiga yang dibutuhkan secara konstitusi dari senat Amerika untuk meratifikasi perjanjian, tetapi saya menggunakan istilah ini secara generic untuk merujuk ke proses keputusan pada level II yang diperlukan untuk mengesahkan atau memberlakukan persetujuan level I, baik formal maupun informal. Pelaku pada level II bisa mewakili agensi birokratis, kepentingan kelompok, kelas-kelas social, atau bahkan ‘opini publik’. Misalnya, jika persatuan buruh di negara debitor menahan kerjasama yang dibutuhkan dari program ketegangan yang telah dinegosiasikan dengan IMF. Ratifikasi level II dari persetujuan bisa dikatakan telah gagal, harapan selanjutnya tentang prospek itu akan mempengaruhi negosiasi level I antara pemerintah dan IMF.

Satu-satunya batasan formal pada proses ratifikasi adalah bahwa karena persetujuan yang sama harus diratifikasi oleh kedua pihak, persetujuan level I awal tidak dapat di amandemenkan pada level II tanpa membuka kembali negosiasi level I. Dengan kata lain ratifikasi terakhir harus di vote up atau down, suatu modifikasi ke persetujuan Level I sebagai suatu penolakan, kecuali kalau modifikasi ini disetujui oleh semua pihak lain ke persetujuan. Kemungkinan gagalnya ratifikasi menyatakan bahwa analisis teoritis permainan itu seharusnya membedakan antara peninggalan voluntary dan involuntary. Peninggalan Voluntary merujuk ke pengingkaran oleh orang egoist rasional dengan tidak adanya kontrak yang bisa dilakukan – misalnya problem yang banyak dianalisa pada dilemma penjara dan dilemma lain dari tindakan kolektif. Penyimpangan involuntary malahan menunjukkan tingkah laku agen yang tidak mampu mengirimkan pada janji karena kegagalan ratifikasi. Sekalipun dua jenis tingkah laku ini bisa sulit untuk menguraikan dalam beberapa contoh, logika yang mendasari adalah cukup berbeda.

Penentu win-set

Penting untuk memahami kondisi apa yang mempengaruhi ukuran win-set. Tiga set factor adalah sangat penting:

  • level II preferensi dan koalisi
  • Level II kelembagaan
  • Level 1 strategi negosiator

1. Ukuran win-set tergantung pada distribusi kekuasaan, pilihan, dan kemungkinan koalisi di antara konstituen level II.

Teori two-level tentang negosiasi internasional harus ditelusuri dalam teori politik dalam negeri, yaitu, teori tentang kekuasaan dan pilihan actor utama pada level II. Ini bukan kesempatan bahkan evaluasi dari alternative-alternatif yang relevan, kecuali mencatat bahwa kerangka konseptual dua-level secara prinsip dapat dikawinkan dengan pendangan-pendangan yang berbeda seperti Marxism, pluralisme kelompok kepentingan, politik birokrasi, dan neo-korporatisme. Misalnya, negosiasi senjata bisa diinterpretasikan dalam hal model politik birokrasi politicking level II, sementara analisis kelas atau neo-corporatism mungkin tepat untuk menganalisa koordinasi makroekonomi internasional.

Akan tetapi, abstraksi dari detail politik level II adalah mungkin untuk menyusun prinsip-prinsip tertentu yang mengatur ukuran win-sets. Misalnya, semakin rendah cost ‘no-agreement’ ke konstituen, semakin kecil win-set. Ingat bahwa ratifikasi persetujuan yang diusulkan, tidak melawan alternative lain (yang mungkin menarik), tetapi hanya melawan ‘no-agreement’. Dalam beberapa kasus, evaluasi no-agreement mungkin satu-satunya disagreement yang signifikan di antara konstituen level II, karena kepentingannya relative homogen. Misalnya, jika import minyak harus dibatasi oleh agreement di antara negara-negara yang mengkonsumsi. Negosiasi melibatkan isu-isu beragam, seperti misalnya persetujuan senjata yang melibatkan pertukaran antara senjata laut dan udara, atau persetujuan buruh yang melibatkan pertukaran antara take-home pay dan pensions.

Problem menghadapi negosiator level I berhubungan dengan konflik homogenus (atau batas) adalah berbeda dari menghadapi negosiator yang berhubungan dengan konflik heterogen. Masalah utama negosiator dalam konflik homogen adalah mengelola perbedaan antara harapan konstituen dan outcome yang bisa dinegosiasikan. Tugas negosiator yang bergulat dengan konflik heterogen adalah lebih komplek, tetapi memiliki potensi lebih menarik, yaitu berusaha untuk memaksimalkan kesempatan ratifikasi.

2. Ukuran win-set tergantung pada kelembagaan politik level II.

Prosedur ratifikasi dengan jelas mempengaruhi ukuran win-set. Misalnya, jika dua per tiga suara diperlukan untuk ratifikasi, win-set hampir pasti lebih kecil dari pada jika hanya mayoritas sederhana yang dibutuhkan. Seperti yang telah ditulis oleh pengamat berpengalaman: ‘Di bawah konstitusi, tiga puluh empat dari seratus senator dapat mem blokir ratifikasi suatu perjanjian. Ini adalah fitur yang unik dan tidak menyenangkan dari birokrasi kita. Karena kekuatan veto yang efektif dari sebuah kelompok kecil, maka banyak persetujuan yang berharga telah ditolak, dan banyak perjanjian tidak pernah dipertimbangkan untuk ratifikasi. Seperti yang di catat di awal, pemisahan kekuasaan Amerika membuat pembatasan yang lebih ketat pada kepada win-set Amerika dari pada yang benar di banyak negara lain. Ini meningkatkan kekuatan bargaining negosiator Amerika, tetapi ini juga mengurangi cakupan kerjasama internasional. Ini meningkatkan keganjilan penyimpangan involuntary dan membuat partner yang berpotensial perang berhubungan dengan Amerika.

Tidak semua praktik ratifikasi yang signifikan diformalisasikan: misalnya, kecenderungan Jepang untuk berusaha mencari consensus dalam negeri yang sangat luas mungkin sebelum bertindak akan mengganggu win-set Jepang, yang berbeda dengan budaya politik mayoritas. Praktik-praktik politik dalam negeri lain, juga, dapat mempengaruhi ukuran win set. Disiplin yang kuat di dalam partai yang berkuasa, misalnya akan meningkatkan win set dengan memperluas rentang persetujuan dimana negosiator level I dapat mengharapkan untuk menerima pengembalian. Misalnya, pada tahun 1986 komite konferensi House-Senate tentang reformasi pajak, rancangan terakhir adalah lebih dekat ke versi Senate, meskipun (atau karena) control yang lebih besar anggota Conggress Rostenkowski tentang delegasinya, yang meningkatkan win-set dewan perwakian, memperlemah disiplin partai di negara-negara Barat utama, mengurangi cakupan kerjasama internasional.

Diskusi terbaru tentang ‘state strength’ dan ‘state autonomy’ adalah relevan di sini. Semakin besar otonomi pembuat keputusan pusat dari konstituen level II, maka semakin besar win-set nya dan dengan demikian semakin besar mencapai persetujuan internasional.

3. Ukuran win-set tergantung pada strategi negosiator level I

Masing-masing negesiator level I memiliki kepentingan yang tegas dalam memaksimalkan win-set pihak lain, tetapi dengan melihat win-set nya, motifnya bercampur. Semakin besar win-set nya, semakin mudah dia dapat menyimpulkan negosiator lain. Fakta ini sering memiliki dilemma taktis. Misalnya, satu cara yang efektif untuk menunjukkan komitmen ke posisi yang ada dalam bargaining level I adalah dengan mendukung konstituen lain (misalnya, menangani suara langsung, berbicara tentang perbedaan senjata atau membicarakan tentang ‘praktik perdagangan yang tidak adil’. Sebaliknya taktik seperti ini bisa memiliki dampak yang tidak dapat diubah terhadap sikap konstituent, menghambat ratifikasi selanjutnya tentang persetujuan kompromi. Sebaliknya, konsultasi awal di dalam negeri, yang bertujuan untuk ‘melancarkan’ konstituen dalam mengantisipasi perjuangan ratifikasi, dapat memotong kemampuan negosiator untuk merencanakan kesan kepala batu luar negeri.

Negosiator yang berpengalaman yang familiar dengan meja dalam negeri selanjutnya harus mampu memaksimalkan keefektifan cost (kepada dia dan konstituennya) dari kelonggaran bahwa dia harus menjamin ratifikasi luar negeri, serta keefektifan cost tuntutan dan ancamannya, dengan mentargetkan inisiatifnya dengan insiden level II nya, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pada usaha level I ini negosiator sering di dalam kolusi, karena masing-masing memiliki kepentingan dalam membantu yang lain untuk mendapatkan deal akhir yang diratifikasi. Sehingga, mereka bergerak bersama menuju titik tangensi antara kurva indeference politis. Frekuensi empiris dari target di dalam negosiasi perdagangan dan peran perdagangan, serta di dalam negosiasi internasional lain, akan menjadi uji yang penting dari analisis pelaku konvensional dan pendekatan two level yang diusulkan di sini.

Ketidakpastian dan Taktik Bargaining

Ketidakpastian tentang ukuran win-set dapat menjadi alat bargaining dan pemblokiran dalam negosiasi two level. Dalam penawaran level I yang murni distributive, negosiator memiliki insentif untuk mengecilkan win-set nya. Karena tiap-tiap negosiator sepertinya tahu banyak tentang level II nya sendiri dari pada lawannya, klaim ini masuk akal. Ini adalah sama dengan taktik yang dijelaskan oleh Snyder dan Diesing, bila negosiator berusaha untuk mengeksploitasi pembagian di dalam pemerintahannya dengan mengatakan, ‘anda lebih baik membuat deal dengan saya, karena yang lain bahkan lebih buruk’.

Sebaliknya, ketidakpastian tentang win-set lawan meningkatkan perhatian seseorang tentang resiko penyimpangan involuntary. Persetujuan hanya dapat ditemukan jika masing-masing negosiator diyakinkan bahwa deal yang diusulkan ada di dalam win-set jumlah oposisi dan dengan demikian akan diratifikasi. Ketidakpastian tentang ratifikasi pihak B menurunkan nilai persetujuan yang diharapkan ke pihak B, dan dengan demikian pihak B akan menuntut lebih keras pembayaran sampingan dari pihak A dari pada yang akan diperlukan di bawah kondisi ketidakpastian. Di dalam kenyataan, pihak B memiliki rangsangan untuk berpura-pura ragu tentang kemampuan A untuk melaksanakan, tepatnya untuk mencabut tawaran yang lebih keras.

Ketidakpastian tentang pola kurva indifference politik memiliki penggunaan yang strategis. Sebaliknya, bila negosiator mencari paket baru yang bisa meningkatkan kedua posisinya, kesalahan penyajian win-set seseorang dapat menjadi kontra produktif. Solusi yang kreatif yang mengembangkan cakupan untuk pemerolehan bersama dan meningkatkan hasil ratifikasi adalah memerlukan informasi yang cukup akurat tentang preferensi konstituen dan poin khusus. Analisis two-level game memberikan banyak ilustrasi tentang observasi Zartman bahwa semua negosiasi melibatkan ‘pertukaran informasi parsial yang terkontrol.

Restrukturisasi dan Reverberasi (gaung)

Secara formal, analisis teoritis game meminta bahwa struktur tentang isu-isu dan hasilnya dijelaskan dimuka. Akan tetapi dalam kenyataan, banyak dari apa yang terjadi dalam banyak situasi penawaran melibatkan usaha-usaha oleh pemain untuk merestrukturisasi game dan mengubah persepsi satu sama lain tentang cost no-agreement dan keuntungan persetujuan yang diusulkan. Taktik seperti ini lebih sulit pada two-level game dari pada negosiasi konvensional, karena lebih sulit untuk mencapai konstituen pada pihak lain dengn pesan persuasive. Meskipun demikian, pemerintah berusaha untuk mengembangkan win-set satu sama lain. Banyak aktivitas kedutaan – merayu opini para pemimpin, mengembangkan kontak dengan pihak-pihak oposisi, menawarkan bantuan asing ke negara yang bersahabat, tetapi tidak stabil, dan sebagainya – akan memiliki fungsi yang tepat. Ketika pejabat Jepang mengunjungi Capitol Hill, atau diplomat Inggris melobi para pemimpin Irish-American, mereka berusaha untuk menyegarkan hambatan dalam negeri yang mungkin sebaliknya akan mencegah administrasi dari kerjasama dengan pemerintahnya.

Dalam beberapa contoh, mungkin bahkan secara tidak sengaja, tekanan internasional ‘bergaung’ di dalam politik dalam negeri, yang memerlukan keseimbangan dalam negeri dan dengan demikian mempengaruhi negosiasi internasional. Tepatnya bentuk reverberation (gaung) yang ditandai dengan negosiasi pertemuan tahun 1978. Dieter Hiss, orang Tibet Jerman dan salah satu dari mereka yang percaya bahwa program stimulus adalah untuk kepentingan Jerman sendiri, kemudian menulis bahwa pertemuan-pertemuan akan mengubah kebijakan nasional

Sejauh ini dengan mereka memobilisasi dan/atau mengubah opini public dan sikap kelompok-kelompok politik …. Sering kali sudah cukup, jika keseimbangan opini berubah, yang memberikan kepada mayoritas untuk menghalangi dari minoritas kuat …. Tidak ada negara yang melanggar kepentingannya sendiri, tetapi tentunya definisi tentang kepentingan ini dapat berubah melalui pertemuan dengan pertukaran yang mungkin dan saling memberi dan menerima.

Dari sudut pandang teori social-choice ortodok, reverberation (gaung) merupakan problematis, ini menyatakan interkoneksi di antara fungsi-fungsi manfaat actor independent, pada level-level game yang berbeda. Dua rasional bisa ditawarkan untuk menjelaskan reverberation (gaung) di antara egois-egois yang memaksimalkan kemanfaatan. Pertama, di dunia yang komplek, saling tergantung, tetapi sering tidak bersahabat, menyerang orang asing mungkin sangat mahal dalam jangka panjang. To get along, go along (bekerja bersama, berjalan bersama), mungkin dalil yang rasional. Rasional ini sepertinya lebih umum, lebih tergantung (atau saling ketergantungan), dan sepertinya lebih persuasive ke actor pelaku level II yang lebih terekspose secara internasional, seperti misalnya korporasi multinasional dan bank-bank internasional.

Rasional kedua mempertimbangkan factor-faktor kognitif dan ketidakpastian. Akan menjadi suatu kesalahan bagi ilmuwan politik yang meniru sebagian besar ahli ekonomi untuk elemen persuasive dalam negosiasi. Dengan ketidakpastian yang besar yang mengelilingi banyak isu-isu internasional, pesan dari luar negeri dapat mengubah pikiran, menggerakkan keraguan, dan memperhatikan mereka yang minoritas di dalam negeri. Reverberation (gaung) akan lebih banyak di antara negara-negara dengan hubungan yang dekat dan mungkin lebih banyak dalam ekonomi dari pada negosiasi politik-militer.

Reverberasi seperti yang didiskusikan sejauh ini menyatakan bahwa tekanan internasional mengembangkan win-set dalam negeri dan memfasilitasi persetujuan. Akan tetapi, reverberasi dapat juga negative, dalam arti bahwa tekanan asing bisa menciptakan backlash dalam negeri. Reverberasi negative mungkin secara empiris kurang umum dari pada reverberasi positif, hanya karena orang asing sepertinya akan menghindari tekanan public jika dikenali menjadi kontraproduktif. Teori keseimbangan kognitif menyatakan bahwa tekanan internasional adalah lebih ke reverberasi negative jika sumbernya pada umumnya dipandang oleh pemirsa dalam negeri sebagai merugikan dari pada sekutu. Meskipun demikian, memprediksi dampak yang tepat dari tekanan asing diakui sulit, meskipun secara empiris, reverberasi tampak sering terjadi di dalam two-level games.

Peran negosiator kepala

Dalam model khusus negosiasi two level yang digambarkan di sini, negosiator kepala adalah satu-satunya hubungan formal antara Level I dan Level II. Motif negosiator kepala meliputi:

  1. meningkatkan pemahaman dalam permainan level II dengan meningkatkan sumber-sumber politiknya atau dengan meminimalkan potensi kehilangan. Misalnya, kepala pemerintahan bisa mencari popularitas yang dia harapkan cocok dengannya jika dia menyimpulkan persetujuan internasional yang berhasil, atau dia bisa mengantisipasi bahwa hasil-hasil persetujuan (misalnya, pertumbuhan yang cepat atau pengeluaran pertahanan yang rendah) akan berharga secara politis.
  2. merubah keseimbangan kekuatan pada level II dalam mendukung kebijakan dalam negeri yang dia inginkan untuk alasan-alasan eksogenus. Negosiasi internasional kadang-kadang memungkinkan para pemimpin pemerintahan untuk melakukan apa yang mereka inginkan untuk mereka kerjakan, tetapi tidak berdaya untuk melakukan secara dalam negeri. Di luar kasus tahun 1978 yang sekarang familiar, pola ini mencirikan banyak program stabilisasi yang dikatakan (menyesatkan) yang dikenakan oleh IMF. Misalnya, pada negosiasi tahun 1974 dan 1977 antara Itali dan IMF, kekuatan konservatif dalam negeri mengeksploitasi tekanan IMF untuk memfasilitasi gerakan kebijakan yang mungkin secara internal.
  3. untuk mengejar konsep tentang kepentingan nasional dalam konteks internasional. Ini tampak merupakan penjelasan yang paling baik dari usaha luar biasa untuk kepentingan Panama Canal Treaty, serta komitmen Woodrow Wilson yang akhirnya fatal sampai Versailles Treaty.

Tinggalkan komentar